REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Subuh baru beranjak dari Masjid at-Ta’awun. Kabut pun semakin menipis bersamaan dengan terlihatnya hamparan kebun teh di wilayah Puncak, Jawa Barat.
Di tengah segarnya udara pegunungan, sekelompok lelaki sedang mengelilingi masjid. Mereka berjalan pagi untuk relaksasi setelah semalaman khusyuk menunaikan shalat Tahajud.
Beberapa kali, mereka berpapasan dengan jamaah lain yang baru menunaikan iktikaf pada malam ke-27 Ramadhan 1439 Hijriyah. Tak hanya jamaah, mereka pun sempat bertemu dengan para wisatawan. Tidak ketinggalan satu keluarga berwajah keturunan yang juga hendak berolahraga.
Lantai masjid yang dipenuhi batu membuat mereka ingin merasakan sensasi di pijat refleksi di masjid itu. Segurat senyum menyungging dari jamaah iktikaf saat berpapasan dengan keluarga itu.
Salah satu jamaah berasal dari Petamburan, Jakarta. Namanya Haji Zakaria Rachmat. Pengusaha percetakan itu sedang berdiskusi kecil dengan teman-temannya sesama peserta iktikaf.
Ini adalah tahun ke-18 Haji Zakaria beriktikaf di Masjid at-Ta’awun. Mantan wartawan Harian Sinar Pagi ini masih ingat betul bagaimana dia memulai iktikaf seorang diri pada tahun 2001.
“Dulu saya mau (iktikaf) di salah satu masjid di Bogor. Berangkat malam ke-20. Tapi enggak nyaman terus saya naik,” ujar Zakaria saat berbincang dengan Republika, Selasa (12/6).
Zakaria yang akrab disapa Bang Jek ini mencari masjid di sekitar puncak dengan berkendara mobil tanpa ditemani siapapun. “Pokoknya kalau ada masjid di pinggir jalan saya berhenti dan beriktikaf,” kata dia.
Saat mendekati wilayah Tugu Selatan, dia pun melihat sosok Masjid at-Ta’awun yang baru saja dipugar. Bang Jek tertarik dan memarkir mobilnya di lapangan samping masjid. Bang Jek lantas pergi ke pelataran masjid.
Namun, dia dilarang masuk oleh petugas keamanan setempat. Dia menggelar sajadah di latar masjid itu. Berteman udara puncak nan dingin, Bang Jek beriktikaf. “Saya dulu ditemani sama satpamnya. Main kuat-kuatan aja saya sama dia,” ujar dia.
Petugas keamanan berdalih masjid tidak mau kehilangan barang karena ada orang asing. Menurut dia, masjid tersebut hanya dibuka ketika waktu shalat wajib yang lima tiba. Selain waktu tersebut, Masjid at-Ta’awun harus ditutup. “Tapi saya keukeuh orang saya jalankan perintah Rasul,” kata Bang Jek.
Dia mengisahkan, ketika itu iktikaf dalam arti berdiam diri di masjid hingga sepuluh hari belum begitu populer di tengah masyarakat Muslim. Bang Jek pun bertekad untuk menjalankan sunnah Rasul itu.
Dengan begitu, pengurus masjid bisa membuka pintu at-Ta’awun untuk beriktikaf. Namun, keinginan Bang Jek tinggal harapan. Dia masih harus tidur di pelataran masjid hingga malam takbiran.
Tahun kedua, Bang Jek kembali ke at-Ta’awun. Petugas keamanan ternyata mulai berbaik hati. Dia diperbolehkan untuk menginap di sebuah ruangan kosong di lantai dua. Bang Jek pun dipersilakan shalat malam di selasar sekitar kamarnya. Namun, dia belum boleh shalat malam di ruang utama.
Hanya saja, petugas itu mengingatkan Bang Jek karena kamar itu berhantu. “Kamar itu dibilang ada penunggunya ibu-ibu suka gendong anak. Saya bilang enggak papa, nanti saya gendong dia sekalian,” ujar dia.
Kegigihan Bang Jek ternyata berbuah. Dia pun disambut jamaah lain yang juga hendak beriktikaf di Masjid at-Ta’awun. Mereka membentuk Paguyuban Iktikaf at-Ta’awun (PITA). Anggotanya belasan orang. Melihat antusiasme jamaah, Pengurus DKM at-Ta’awun luluh. Mereka mengizinkan kegiatan iktikaf di masjid yang menjadi ikon Puncak tersebut.
Masjid at-Ta'awun, Puncak, Bogor.
Di PITA, Bang Jek berkenalan dengan banyak anak muda. Salah satunya Denny Rahmat, seorang pengusaha di bidang pendidikan dan IT. Bang Jek kemudian meminta Denny untuk mengurus komunitas iktikaf tersebut. “Dari situ kita ubah nama jadi Mutan,” ujar Denny.
Mutan merupakan singkatan dari Mu’takifin at-Ta’awun. Mu’takifin bermakna orang-orang yang beriktikaf. Jadi, Mutan berarti para peserta iktikaf Masjid at-Ta’awun. Denny mengungkapkan, Mutan merupakan komunitas yang menyelenggarakan iktikaf di Masjid at-Ta’awun.
Meski berkoordinasi dengan DKM, Mutan berada di luar kepengurusan masjid. Karena itu, kata dia, pendanaan operasional iktikaf pun dilakukan sendiri tanpa melibatkan pengurus masjid.
Menurut dia, peserta iktikaf at-Ta’awun berasal dari Jabodetabek. Ada juga dari daerah lain seperti Kalimantan. Denny menjelaskan, dari tahun ke tahun, peserta iktikaf semakin meningkat.
Terlebih, pihak DKM sudah mendirikan aula yang cukup luas untuk tempat menginap para peserta iktikaf. “Secara akumulasi (yang menetap dan sementara) peserta kita bisa 200 orang,” ujar dia.
Denny menjelaskan, Mutan berupaya mengelola kegiatan iktikaf agar keimanan dan ketakwaan jamaah semakin meningkat. Salah satunya lewat kajian Dhuha. Tiap selepas Dhuha, kata Denny, Mutan mengundang para ustaz untuk mengisi berbagai materi keislaman.
Mereka datang dari berbagai mazhab. Untuk fikih ibadah dari Jamaah Tabligh, fikih ibadah dari Salafi hingga fikih muamalah dari teman yang lain lagi. “Kita berupaya menyerahkan kajian ke ahlinya,” tutur dia.
Rokhim, salah satu peserta iktikaf, mengungkapkan, dia sudah tiga tahun berikitikaf di Masjid at-Ta’awun. Menurut dia, beriktikaf di masjid yang berada di pegunungan ini akan menyegarkan pikiran. Dengan demikian, ibadah pun menjadi lebih khusyuk.