REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Tatkala Muslim di berbagai belahan dunia merayakan Idul Fitri dengan suka cita dan saling memberi hadiah, etnis Rohingnya harus menelan pil pahit pada hari raya tahun ini. Untuk pertama kalinya sejak konflik pecah pada Agustus tahun lalu mereka melewati momen Idul Fitri sebagai pengungsi di kamp pengungsian Kutupalong, Cox's Bazar.
Di sana, Idul Fitri jatuh pada Sabtu (16/6) waktu setempat. Etnis minoritas asal Myanmar tersebut merayakan Idul Fitri di tenda pengungsian yang kecil dan sesak.
Rahim Uddin mengatakan kepada AFP bahwa Lebaran tahun ini berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya. "Tapi kami tetap bersyukur. Setidaknya kami punya tempat yang damai untik tinggal dan merayakan Idul Fitri. Kami bisa pergi ke masjid tanpa diganggu," kata pengungsi berusia 35 tahun itu.
Pada Sabtu pagi, masjid di kamp pengungsian nampak dipenuhi jamaah. Usai shalat, mereka berdoa agar dihindarkan dari ancaman banjir dan tanah longsor yang dipicu hujan lebat. Usai ritual sholat Ied, anak-anak terlihat gembira mengenakan baju baru sembari bermain komidi putar dan aneka permainan lainnya.
"Aku menjual ransum di pasar lokal demi membelikan baju baru untuk anak-anakku. Mereka sangat bahagia," ungkap seorang pengungsi bernama Manu Mia seperti dilansir Channel News Aisa.
Tak hanya baju baru, hari raya tak akan lengkap tanpa masakan istimewa. Demikian halnya dengan yang dilakukan para pengungsi Rohingnya. Kendati hanya menyajikan masakan sederhana, mereka berharap ada nuansa baru di hari yang fitri ini.
Gul Meher, nenek berusia 80 tahun memilih memasak bihun menjadi hidangan pencuci mulut yang disebut semai. Anak laki-laki serta empat cucunya menyantap masakannya dengan lahap. "Aku merasa sangat bahagia walaupun hanya bisa masak sedikit untuk cucu-cucuku," tuturnya.
Selain melaksanakan sholat Ied, hari kemenangan kali ini juga diwarnai dengan demonstrasi damai menuntut keadilan dan repatriasi. Selama sekitar satu jam, sejumlah pengungsi mengacungkan banner dan plakat yang berisi tuntutan pengakuan kewarganegaraan dari Myanmar serta jaminan keamanan dari PBB.
Sekitar 700 ribu warga Rohingnya tiba di Bangladesh sejak tragedi yang disebut PBB dan AS sebagai 'pembersihan etnis' pecah di Myanmar.Pimpinan komunitas pengungsi Mohammad Mohibullah menyatakan mereka ingin PBB menyertakan perwakilan Rohingnya selama proses perjanjian repatriasi. Namun hingga tulisan ini dibuat belum ada perwakilan dari PBB yang bersedia memberikan komentarnya.