REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menilai, usaha mikro dan kecil di Indonesia seharusnya dibebaskan dari pajak. Menurutnya, hal itu bisa meningkatkan tingkat kepatuhan pajak dari pelaku usaha.
"Akumindo mengharapkan tarifnya seperti negara lain, tarif untuk usaha mikro dan kecil itu nol persen. Harusnya bebas pajak. Tapi untuk yang menengah tidak apa-apa tarifnya 0,5 persen," kata Ikhsan ketika dihubungi pada Jumat (22/6).
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan ketentuan baru terkait Pajak Penghasilan (PPh) untuk UMKM berupa Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018. Aturan itu merupakan hasil revisi PP nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Salah satu ketentuan yang berubah adalah terkait tarif PPh final yang sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen. Selain itu, PP 23/2018 juga mengatur batas jangka waktu pengenaan tarif tersebut. Rinciannya, untuk Wajib Pajak (WP) orang pribadi jangka waktunya selama 7 tahun, WP badan koperasi dan firma selama 4 tahun, sementara WP badan Perseroan Terbatas (PT) selama 3 tahun.
Setelah jangka waktu tersebut, UMKM diminta untuk membuat pembukuan sehingga dapat mengikuti ketentuan perpajakan secara normal. Akan tetapi, menurut Ikhsan, hal itu dapat menimbulkan masalah baru. Meski terdapat penurunan tarif pajak, ia menilai akan terjadi peningkatan biaya terutama untuk membuat pembukuan.
"Usaha mikro dan kecil itu boro-boro membuat pembukuan, membuat pencatatan saja belum tentu ada. Jadi, jangan sampai turun pajak tapi biaya paperwork atau administrasi meningkat," kata Ikhsan.