Warga melaksanakan pemilihan Gubernur Jawa Barat di TPS 24, Perumahan Puri Citayam Permai,Bojonggede, Kabupaten Bogor. Ahad (24/2). (Republika/Musiron)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan saksi dari parpol di setiap tempat pemungutan suara (TPS), dinilai perlu diawasi agar tidak terjadi transaksi jual beli suara antarparpol.
"Kalau negara menganggarkan saksi dari parpol maka harus ada yang mengawasi agar tidak ditumpangi kepentingan tertentu," kata pengamat dari Setara Institute, Romo Antonius Benny Susetyo, di Jakarta, Rabu (22/1).
Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute itu mengatakan, potensi kecurangan terbesar yang mungkin terjadi adalah saat penghitungan suara. Transaksi jual-beli suara, katanya, bisa terjadi antarparpol dimana caleg partai bersangkutan tidak memiliki basis pendukung kuat di TPS tersebut.
"Kecurangan itu nanti terjadi di antara parpol sendiri. Parpol yang tidak bekerja di basis akan membayar saksi untuk mencuri suara dari parpol lain. Dan itu banyak," kata Benny yang juga rohaniwan Katolik itu.
Karenanya ia berujar, banyak caleg-caleg yang tidak bekerja dan mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya untuk memanipulasi hasil suara pemilu itu. Ia mengemukakan tentang tingginya potensi jual-beli suara saat pemilu mendatang.
"Realitanya, pemilu kita 'becek' dan potensi jual suara akan terjadi, apalagi dengan jumlah suara partai yang hangus karena tidak memenuhi 3,5 persen," ujarnya.
Dikatakannya, keberadaan saksi dari parpol itu harus diawasi, antara lain oleh pemuda, mahasiswa, dan komunitas pegiat pemilu yang benar-benar netral. Ia menyatakan dukungan terhadap Gerakan Sejuta Relawan yang saat ini sedang digalakkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ia menjelaskan bahwa melalui gerakan massa tersebut dapat diperoleh relawan yang netral dalam mengawasi proses penghitungan suara. "Kalau kita menginginkan pemilu yang jujur dan adil maka perlu pengawasan yang lebih ketat di tingkat bawah," ujarnya.