REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Refly Harun mempertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres. Menurutnya, jika sepakat pemilu mesti dilakukan serentak, maka mestinya MK juga merevisi aturan presidential threshold dalam UU tersebut
"Saya sesalkan keputusan MK yang tidak sekaligus membatalkan pasal mengenai presidential threshold. Itu yang abu-abu dan tidak tegas," kata Refly ketika dihubungi wartawan, Ahad (26/1).
Refly mengatakan pasal presidential thereshol dalam UU Pilpres tidak dibuat menggunakan logika sehat. Namun, dibuat hanya demi menjegal majunya kembali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai capres pada pemilu 2009.
"Mereka pikir presidential threshold 20 persen akan menyulitkan SBY ikut pilpres 2009 karena suara Demokrat tidak signifikan saat itu," ujarnya.
Menurut dia, tingginya angka presidential threshold sama sekali tidak berpengaruh terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia. Sebaliknya lebih bertujuan untuk mencegah munculnya capres alternatif. "Pencapresan menjadi tidak demokratis dan didominasi oleh elite-elite partai saja," katanya.