REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Formappi Sebastian Salang mengatakan, kebijakan soal dana tambahan pengawasan pemilu melalui saksi dilakukan tanpa dasar hukum.
Belum lagi, mekanisme pengawasan dilakukan saat pemungutan suara di TPS yang diketahui minim pelanggaran.
"Setahu saya, pemungutan suara itu pelanggarannya kecil sekali. Justru sebelum dan sesudah pemungutan yang besar. Misal, kalau sudah naik ke tingkat kecamatan dan kabupaten, siapa yang mengontrol," ujarnya.
Sebastian juga berpendapat, menambah anggaran pengawasan untuk saksi untuk meminimalisasi pelanggaran merupakan langkah keliru.
"Diagnosis keliru, terapinya juga keliru. Belum lagi, kalau negara membiayai. Itu artinya negara juga tidak percaya dengan penyelenggara pemilu," ucapnya.
Ia menilai Bawaslu semestinya memetakan kerja pengawasan berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya. Dengan pemetaan yang baik, lembaga pengawas itu diharapkan bisa meminimalisasi pelanggaran yang terjadi selama pesta demokrasi berlangsung.
"Urusan saksi Rp 1,5 triliun saja bisa cepat disetujui. Coba urus pengungsi Sinabung, berbulan-bulan nasibnya tidak jelas. Seolah bangsa ini urusannya politik saja," tutur Sebastian mengkritisi.
Bawaslu menganggarkan Rp 1,5 triliun dana tambahan untuk kegiatan pengawasan pemilu 2014 guna membiayai Mitra PPL dan saksi parpol di 545.778 TPS.
Ketua Bawaslu Muhammad menyatakan, anggaran Rp 800 miliar untuk program Mitra PPL. Sedangkan untuk membayar honor saksi dari parpol diperlukan sekira Rp 700 miliar.
"Antara saksi dari parpol dan Mitra Pengawas itu anggarannya dititipkan ke Bawaslu. Kami akan secara mandiri dan objektif dalam melakukan pengawasan itu," ujar Muhammad.