REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDI Perjuangan, Arif mengatakan anggaran dana saksi dari perwakilan partai politik menjadi instrumen untuk kepentingan politik tertentu.
"Saya khawatir ini akan menjadi instrumen untuk 'political interest' tertentu, di mana menurut pandangan kami penyelenggara Pemilu sampai hari ini belum bisa berjalan secara mandiri dan independen," kata Arif di Gedung KPU Pusat Jakarta, Kamis (30/1).
Karenanya, dia menyatakan sikap PDI Perjuangan yang menolak jika pemerintah mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar honor saksi dengan total anggaran sebesar Rp 700 miliar.
Arif berkata, saksi Pemilu dari partai bukan merupakan profesi, sehingga tidak perlu diberi honor. Selain itu, menghadirkan saksi di setiap TPS menjadi tanggung jawab internal partai karena tujuannya untuk menjaga perolehan suara caleg di partai bersangkutan tidak dimanipulasi.
"Tidak perlu ada intervensi dari Negara, jadi anggaran saksi parpol yang dibiayai Negara itu sama saja dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai), BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dan tenaga bayaran," ucapnya.
Karenanya, negara tidak perlu mengeluarkan uang untuk membiayai honor saksi dari perwakilan parpol.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menganggarkan Rp 700 miliar untuk membiayai saksi dari partai politik di seluruh TPS. Ketua Bawaslu Muhammad mengatakan honor saksi itu diperlukan karena ada keluhan-keluhan dari parpol yang tidak mampu membayar saksi.
"Itu keluhan dari parpol, dan Pemerintah juga mengakomodasi anggaran saksi parpol di setiap TPS. Nanti di setiap TPS ada 12 saksi dari parpol peserta Pemilu. Anggaran saksi parpol Rp100 ribu untuk satu orang," ujar Muhammad.