REPUBLIKA.CO.ID, KULON PROGO -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta menilai perbedaan persepsi pengawas, kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus pidana pemilu menghambat penuntasan kasus pelanggaran pemilu.
"Problem di banyak tempat yakni pengawas menemukan unsur tindak pidana pemilu dengan indikasi kuat, tapi terkadang polisi dan jaksa memiliki persepsi yang berbeda. Sehingga kasusnya dihentikan," kata Ketua Bawaslu DIY Muhammad Najib di Kulon Progo, Jumat (31/1).
Ia mengatakan berdasarkan pengawasan Panwaslu Kabupaten/Kota di DIY ada tiga kasus tidak dilanjutkan karena perbedaan pandangan antarapengawas, polisi dan jaksa. "Perlu adanya pelatihan dan pertemuan untuk menyamakan persepsi dan sensitifitas yang sama terkait upaya memaknai pelanggarannya," katanya.
Menurut Najib, pidana pemilu itu sifatnya relatif. Politisi semakin pintar dan canggih, sehingga pelanggaran mengalami infasi.
Lebih lanjut Najib mengatakan pencanggihan terkait pelanggaran akan menjadi tindakan bukan pelanggaran. Untuk itu, perlu adanya pemaknaan yang di luar legal formal, kalau normatif akan membuat perbedaan pandangan.
"Sehingga kasusnya sama, tapi pengawasan berbeda. Polisi yang satu dengan lain beda, jaksa yang satu dengan jaksa lain juga berbeda. Akhirnya, penuntasan kasus pidana pemilu tergantung kemauan," kata Najib.