REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan kompetisi pemilu yang terlalu terbuka saat ini tidak sesuai dengan watak bangsa. Menurutnya, yang cocok sebenarnya adalah sistem semiterbuka.
"Kompetisi yang terlalu terbuka saat ini, sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa, yang gotong royong. Kompetisi yang terlalu liberal ini tak sesuai dengan watak bangsa," katanya di Jakarta, Senin (24/2).
Ia menjelaskan, pemilu disebut bermutu tinggi karena dipilih langsung rakyat. Namun, pada kenyataannya tak menghasilkan anggota dewan yang bermutu tinggi.
"Yang menarik pemilu yang sangat personal oleh para caleg, tetapi di DPR nanti anggota DPR harus tunduk ke parpol, ini sangat paradoks," katanya.
Menurut dia, secara de jure memang peserta pemilu adalah partai politik. Tetapi pada de facto mereka merupakan caleg perseorangan yang berjuang karena rakyat memilih nama.
Ironisnya, kata dia, nanti begitu terpilih sebagai anggota DPR mereka dikuasai oleh fraksi. "Jika fraksi masih kuat seperti sekarang, maka pemilu langsung yang personal kehilangan makna. Mungkin yang cocok semiterbuka dan itu sesuai dengan watak bangsa," katanya.
Hajriyanto menjelaskan, ada tiga kategoriasi pemilu. Yakni pemilu Orde Lama, Orde Baru, pascareformasi. "Pemilu 1955 dinilai sangat demokratis dan sangat ideologis," katanya.
Sementara pemilu Orde Baru sejak 1971-1997 memang dinilai kurang demokratis. Birokrasi pun tidak netral dan monoloyalitas PNS ke Golkar. Namun tidak memilih semua anggota karena ada yang diangkat melalui Fraksi ABRI.
"Positifnya, sebagian besar berhasil melahirkan pemerintahan yang efektif, bekerja sesuai program-programnya. Dan memang pemilu digunakan sebagai legitimasi jalannya roda pemerintahan," kata politisi Partai Golkar tersebut.
Sementara itu, katanya, pemilu reformasi dianggap demokratis dan menjamin kebebasan untuk memilih dalam suasana kebebasan pers. "Pemilu langsung ini dinilai paling mendekati asa luber jurdil. Minusnya tidak menghasilkan pemerintahan dan DPR yang efektif. Mengakibatkan politik biaya tinggi," kata Hajriyanto.
Hajriyanto menilai dengan sistem sangat terbuka ini mungkin hanya caleg yang memiliki logistik besar yang akan terpilih. "Jadi terpilihnya orang-orang kaya, ini plutokrasi. Pemilu yang sangat personal," kata Hajriyanto.