REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap memberlakukan sistem presidential threshold dalam Undang-Undang No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Menurut Wiranto keputusan MK merampas hak politik masyarakat mendapat pemimpin bangsa berkualitas.
"Keputusan MK patut disayangkan karena presidential threshold tetap ada," kata Wiranto, Sabtu (22/).
Bagi Hanura presidential threshold adalah pemaksaan kehendak melalui undang-undang. Sebab hak politik rakyat mencari pemimpin terpasung. "Memasung keinginan rakyat memilih calon-calon potensial negeri ini," ujarnya.
Wiranto menyatakan presidential thereshold menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan pemilu. Pasalnya MK sendiri sudah memutuskan pemberlakuan pemilu serentak pada 2019. Artinya hasil pemilu 2014 rawan gugatan. "Kita melakukan hal yang haram dari sudut konstitusi. Sebab di satu sisi MK mengatakan bahwa pemilu yang dipisahkan itu melanggar UU. Sementara pelaksanaannya nanti 2019," katanya.
Menurut Wiranto angka presidential threshold mestinya mengacu pada angka parliamentary threshold yakni 3,5 persen, bukan 20 persen. "Sehingga frasa dari UU itu bisa tertangkap bahwa setiap partai yang telah lolos ikut pemilu dengan parliamentary threshold berhak mencalonkan presiden dan wapresnya," ujar Wiranto.
MK menolak uji materi UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Dalam uji materinya, Yusril mempersoalkan Pasal 3 ayat (4), Pasal 9 tentang presidential threshold, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU terkait jadwal pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pemilu legislatif yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.