Warga menandatangani spanduk petisi di sela deklarasi kampanye Tolak Politik Uang di Plaza Teater Jakarta, TIM Cikini, Jakarta, Jumat (28/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)
REPUBLIKA.CO.ID,PALEMBANG -- Kondisi legislatif yang karut marut dan ekonomi masyarat yang belum bisa terpenuhi kebutuhannya mendorong terjadi politik transaksional “wani piro?” pada pemilihan umum legislatif.
Demikian pendapat Joko Siswanto pengamat politik dari Fisip Universitas Sriwijaya (Unsri). Menurutnya, pada pemilu saat ini masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi terkait visi dan misi calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik.
“Akses masyarakat pemilih untuk mendapat informasi tersebut tidak ada, partai politik tidak menyediakan, sementara caleg butuh suara, maka terjadilah politik “wani piro?” tersebut. Pemilih hanya diberi kartu nama dan gambar caleg sehingga mendorong pemilih tidak cerdas,” katanya, Senin (7/4).
Sementara sang caleg menurut Joko, demi menjawab tantangan “wanipiro?” tersebut terpaksa menjual atau menggadaikan mobil atau motornya. “Lihat saja ke kantor pegadaian banyak parkir mobil dan motor dari para caleg,” ujarnya.
Staf pengajar Fisip Unsri itu menjelaskan, sebenarnya politik itu tansaksional tapi tidak bersifat praktis melainkan bersifat lebih maju ke depan.
“Yang terjadi pada pemilu, para caleg dan parpol tidak memaparkan visi dan misi sehingga ini menjadi ajang menjual dan membeli suara. “Harusnya ‘wani opo?’ bukan ‘wani piro?’ Politik ‘wani piro?’ ini juga bisa berpengaruh pada partisipasi pemilih,” ungkap Joko.
Sementara itu, Kgs M Sobri guru besar Fisip Unsri menilai apa yang terjadi saat ini karena pemilih tidak mendapatkan pendidikan politik yang benar. “Apakah ada caleg atau parpol yang fokus memberikan pendidikan politik untuk rakyat? Rakyat justru dibiarkan saja dan yang terjadi seperti saat ini,” katanya.