Home >> >>
Strategi Komunikasi Parpol Dinilai Tak Efektif
Ahad , 13 Apr 2014, 22:43 WIB
Republika/Tahta Aidilla
Partai Politik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil quick count atau hitung cepat sudah menghasilkan tiga besar pemenang pemilihan umum legislatif  (Pileg) 2014, yaitu  Partai PDI Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Gerinda. Namun, dari hasil hitung cepat menunjukkan suara yang diperoleh parpol pemenang pileg tidak sesuai dengan target masing-masing partai politik.

Ketua Umum Partai Gerinda Suhardi mengatakan, Gerindra sebenarnya menargetkan bisa memperoleh suara hingga 20 persen. "Hasil quick count memang tidak sesuai dengan apa yang sudah kami targetkan. Namun jika dilihat dari hasik pemilu 2009 dan 2014 suara yang kami peroleh mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Itu artinya strategi politik kami yang mengusung figur Prabowo berhasil, masyarakat menerima kehadiran prabowo. Faktor lainnya tentu saja penguatan struktur internal bekerja dengan baik," papar Suhardi.

Effendi Simbolon Ketua DPP PDIP juga mengakui hasil perolehan suara partainya jauh dibawah target. "Kami menargetkan perolehan suara hingga  27 persen, namun jika yang diperoleh hanya 20 persen saja itu sudah cukup bagus. Perolehan suara PDIP menjadi yang tertinggi karena efek dari calon presiden yang kami usung, Jokowi," jelas Efendi.

Sementara, Wakil Ketua Majelis Partai Demokrat, Marzuki Alie mengatakan partainya beharap bisa meraup suara hingga 20 persen, namun isu negatif yang kerap kali menimpa Demokrat menjadi penyebab merosotnya suara. "Kekurangan Demokrat adalah banyaknya isu dan tuduhan negatif yang selalu dibiarkan saja, tidak ditanggapi, sehingga di masyarakat terbangun persepsi negatif. Itulah yang membuat demokrat terpuruk," ungkapnya.

Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio melihat sesungguhnya komunikasi politik yang dibangun oleh parpol cukup bagus. Namun ternyata tidak efektif dalam menjaring suara. "Partai Gerindra misalnya, pencitraan yang mereka lakukan terhadap  Prabowo Subianto di media sangat tegas sehingga dapat menutupi kesalahan-kesalahan masa lalu. Namun ini tidak cukup efektif menjaring suara, karena target mereka tidak terpenuhi," tegasnya.

Sementara itu, Partai Demokrat yang konsisten mengusung figur Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tokoh panutan, sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. "Ini ternyata juga tidak berpengaruh, karena masyarakat selain melihat figur orangnya juga melihat kinerja partainya. Sementara kinerja Demokrat juga tidak terlalu baik karena banyak anggotanya yang terlibat kasus korupsi," lanjut Hendri.

Hendri melanjutkan strategi komunikasi yang dibangun PDIP dengan mengusung Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebagai calon presiden juga tidak memberikan suara yang signifikan. "Ini terjadi karena menurut saya strategi komunikasi yang dibangun dari awal tidak bagus. Ini dimulai ketika Jokowi memproklamirkan dirinya sebagai capres, Jokowi sendirian dan tidak didampingi oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, ditambah lagi dengan perkataan bahwa Jokowi menjalankan mandat partai. Kemudian saat kampanye, Megawati tidak pernah melakukan kampanye bersama dengan Jokowi, ini menjadi bahasa politik yang tidak baik," tutur Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina ini.

Redaktur : Fernan Rahadi
Reporter : Mohammad Akbar
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar