REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014, dipenuhi praktik politik uang yang mengerikan. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie mengaku menerima ribuan laporan dari Sabang sampai Merauke.
"Banyak masalah, meski masih ditangani Panwaslu dan Bawaslu, itu politik uang bersifat masif," kata Jimly dalam diskusi di Universitas Paramadina akhir pekan lalu.
DKPP sudah proaktif untuk membaca masalah di lapangan. Hasil evaluasinya menemukan dua faktor yang membuat praktik uang terjadi di semua penjuru negeri ini.
Sistem suara terbanyak yang diterapkan secara mendadak pada 2009, kata dia, menimbulkan persaingan tidak sehat di kalangan caleg. Sekarang sesudah lima tahun berjalan, sambung Jimly, semua orang belajar dari kasus pemilukada dan mempersiapkan diri agar lolos ke Senayan.
"Sehingga, semua caleg bermain sendiri dan timbul persaingan internal, termasuk cara main uang jadi kebiasaan," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Masalah penghitungan suara juga dianggapnya sangat bertele-tele. Kemajuan teknologi, kata dia, tidak diikuti dengan semakin praktisnya penghitungan suara dari TPS, tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Belum lagi lambatnya proses rekapitulasi nasional diiringi dengan meningkatnya laporan kecurangan oleh berbagai saksi parpol. Kondisi itu membuatnya harus melakukan tindakan dengan memperbaiki sistem Pemilu 2019, agar pesta demokrasi lima tahun dapat berjalan lebih sempurna.
"Mestinya makin modern makin efisien hasilnya. Tetapi, penghitungan suara terlalu berlapi-lapis dan birokratis. Sistem politik ini sudah benar yang kita pilih, hanya tinggal kita benahi saja pernak-pernik yang kurang," kata Jimly.