REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengakui proses penghitungan suara pada pemilu di Indonesia memang sangat panjang dan berbelit. Panjangnya proses penghitungan suara dari TPS sampai ke KPU Pusat harus diwaspadai akan kecurangan.
''Biasanya terdapat tuyul-tuyul politik yang bergerilya melakukan kecurangan. Sistem pemilu di Indonesia harus segera diubah untuk meminimalisir atau menekan kecurangan di setiap penyelenggaran pemilu,'' ujar dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, Kamis (1/5).
Menurut Burhanuddin, dengan banyaknya dugaan manipulasi suara saat rekapitulasi menunjukkan kualitas proses demokrasi yang buruk. ''manipulasi suara yang terjadi disejumlah daerah merupakan upaya sistematis, masif dan terstruktur. Ini membuktikan juga bahwa penyelenggara pemilu tidak mampu dalam melaksanakan tugasnya. Ini bukan lagi merupakan kesalahan teknis penghitungan suara, tapi sudah merupakan kejahatan pemilu,'' jelasnya.
Burhanuddin menyarankan seharusnya sistem penyimpanan data KPU harus diperbaiki baik pusat maupun daerah, serta terintegrasi. ''Selain itu KPU juga harusnya lebih koperatif dan terbuka jika ada parpol yang menyatakan keberatan. Semua keberatan parpol dicatat untuk kemudian diselesaikan. Ini yang ada justru KPU seperti membiarkan banyak kecurangan terjadi,'' sarannya.
Deputi Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykuruddin Hafidz menilai proses penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 lebih buruk daripada Pemilu Legislatif 2009. Ini ditandai dengan banyaknya kesalahan dalam proses rekapitulasi suara dan potensi kecurangan besar terjadi secara terstruktur dan masif.
''Proses rekapitulasi berjenjang yang dilakukan di berbagai tingkatan, mulai dari TPS hingga pusat, seharusnya bisa meminimalkan terjadinya kesalahan administrasi. Namun, proses rekapitulasi semacam itu menimbulkan semakin banyaknya "permainan" dalam proses tersebut, rentan dengan kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum Panitai Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),'' ujarnya.
Hafidz menambahkan, pada saat proses rekapitulasi inilah pemidahan suara atau penggelembungan suara dapat dengan mudah dilakukan jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat dari berbagai pihak baik oleh Bawaslu, saksi-saksi parpol, saksi-saksi caleg, pengawasan oleh media dan masyarakat.
''Telah banyak terbukti kecurangan dilakukan adanya kerjasama antara penyelenggara pemilu dalam hal ini bisa dilakukan PPS, PPK, KPU dan caleg-caleg parpol serta saksi itu sendiri,'' pungkasnya.