REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan presiden dan wakil presiden telah selesai dilaksanakan. Kedua pasangan Capres-cawapres sama-sama mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count dari beberapa lembaga survei.
Dalam Pemilu kali ini, pasangan nomor urut 2 unggul atas nomor urut 1 berdasarkan hasil quick count dari beberapa lembaga survei diantaranya, Radio Republik Indonesia (RRI), Litbang Kompas, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Sementara pada lembaga survei lainnya seperti Puskaptis dan Lembaga Survei Nasional (LSN) menempatkan pasangan nomor urut 1 unggul atas nomor 2. Saling klaim kemenangan dari kedua pasangan capres-cawapres dengan mengacu kepada lembaga survei yang berbeda memang cukup membuat gaduh situasi politik pasca pencoblosan.
Berdasarkan pengalaman pemilu presiden pada tahun 2004 hasil quick count tidak sama dengan real count. Waktu itu, pasangan Mega-Hasyim berdasarkan perhitungan quick count yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah, TVRI, bekerja sama dengan Instute for Social Empowerment and Democracy menang tipis atas pasangan SBY-Jusuf Kalla. Hal tersebut berdasarkan perhitungan suara di 1.264 Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai sampel Mega-Hasyim meraih 50,07 persen. Sedangkan SBY-Jusuf Kalla 49,93 persen.
Sedangkan pada hasil quick count The National Democratic Institute (NDI) dan LP3ES yang telah merampungkan perhitungan 40 persen dari dua ribu TPS, SBY-Jusuf Kalla unggul relatif besar dengan perolehan suara 62 persen, sedangkan Mega 38 persen.
Namun yang terjadi, pemilu presiden tahun 2004 pada hitungan akhir di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimenangkan oleh pasangan SBY-Jusuf Kalla. Dengan demikian, berdasarkan kejadian tahun 2004 klaim kemenangan oleh pasangan Capres-cawapres atas dasar hasil quick count bisa jadi tidak sama dengan hasil perhitungan akhir di KPU.