Sejumlah aktivis mendeklarasikan kampanye Tolak Politik Uang dengan menghancurkan replika uang secara simbolis di Plaza Teater Jakarta, TIM Cikini, Jakarta, Jumat (28/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya politik uang dalam proses pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) menjadi tolak ukur potensi korupsi di badan DPRD/DPR RI. Sebab, kandidat anggota dewan yang menang dari hasil tersebut akan menjadi /bandit/ saat duduk di kursi parlemen.
Pengamat politik UNHAS Hidayat Nahwi Rasul mengatakan, politik uang pada masa pemilu mendorong terjadinya korupsi. Sebab, mereka merebut kekuasaan dengan mengesampingkan moralitas politik.
"Mereka yang melakukan politik uang, ke depannya berpotensi melakukan korupsi," kata Hidayat pada RoL, Senin (21/4).
Menurut dia, perlu ada perbaikan dalam proses pemilu, khususnya pembiayaan. Negara harus memberikan jaminan agar proses pesta demokrasi ini bisa berjalan lancar dan melahirkan sosok negarawan. Keberadaan teknologi iformasi dalam proses pemilu, kata dia, harus ditingkatkan, bukan lagi sekedar instrumental, namun substansial.
"Dengan adanya proses pencoblosan dan perhitungan suara menggunakan IT, pemilu justru cepat dan transparan," ujar dia.
Tingginya tingkat pelanggaran, khususnya politik uang sebenarnya merupakan kehendak publik untuk menghukum legislatif. Mereka menilai, ada kegagalan mereka dalam melaksanakan fungsi sebagai legislasi, kontrol dan bajeting pemerintah.
Pendidikan parpol yang masih minim juga menjadi pemicu para caleg melanggengkan upaya tersebut. Pragmatisme justru mereka pemilahara. Ditambah otoritas bawaslu yang lemah memberikan hukuman serta sanksi bagi pelaku money politic.