Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (tengah) didampingi jajaran pimpinan partai lainnya berdoa bersama usai Mukernas III di Cisarua, Bogor, Kamis (24/4). (Republika/Aditya Pradana Putra)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinilai bersifat pragmatis dan ditentukan elite partai politik (parpol) yang tidak berbasis aspirasi pemilih.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio menyatakan, sikap elite parpol sangat ditentukan oleh kalkulasi yang bersifat pragmatis, yakni posisi kementerian dan kemungkinan uang mahar.
"Para elite PPP sedang menunggu mana tawaran yang paling besar buat mereka. Namun, sikap terlalu lama bisa menjadi blunder," tutur Agung saat dihubungi RoL, Senin malam (5/5), melalui black berry messenger (bbm).
Jika masing-masing calon presiden (capres) sudah memiliki "boarding pass", ujar Agung, maka PPP hanya akan dihargai sebagai pelengkap saja.
Sebenarnya, tutur Agung, PPP masih memiliki kesempatan dengan menunggu poros Partai Demokrat. Namun, figur poros ini memiliki elektabilitas rendah dan kemampuan finansial sedikit. Sehingga, elite PPP telah gagal dalam memaksimalkan posisi tawarnya.
Elektabilitas poros Partai Demokrat ada di bawah capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Joko Widodo (Jokowi) dan capres Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto.
Proses menunggu yang terlalu lama, jelas Agung, disebabkan faksionalisasi di PPP. Sesama faksi ingin merebut "kue" yang lebih besar. Ini menyebabkan terjadinya tarik-menarik yang menyebabkan lamanya elite PPP dalam ambil keputusan.
"Menurut saya, bagi Faksi Sekretaris Jenderal (Seknjed) PPP, Muhammad Romahurmuzy, peluang paling besar ialah berkoalisi dengan Partai Demokrat," terang Agung.
Kecuali, ungkap Agung, ia mau ikut dengan faksi Ketum PPP, Suryadharma Ali, ke Partai Gerindra. Sementara isu SBY menjadi cawapres, yang dilontarkan Sekjend PPP, hanya memberi sinyal faksinya belum memiliki partner koalisi. "Apalagi Romahurmuzi sudah minta maaf atas pernyataannya," pungkas Agung.