REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perintah melakukan aksi intelijen terhadap khutbah di masjid dianggap mengembalikan Indonesia di era otoriter. Aksi intelijen dengan dalih mencegah orang menyebarkan kampanye hitam terhadap Jokowi ini dinilai sebagai tindakan anti-Islam.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Daulay mengatakan, tindakan pengawasan masjid ini, akan menimbulkan kesan adanya fregmentasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
"Selain itu, bisa juga menimbulkan kesan seolah-olah para khatib selama ini dijadikan sebagai agen politik dari suatu kepentingan politik tertentu. Padahal, fungsi masjid adalah tempat suci dimana orang berupaya mendekatkan diri pada sang pencipta," kata Saleh, Jakarta, Ahad(1/6).
Saleh menilai, pengawasan ini sama saja dengan melakukan aksi sweeping terhadap khotbah-khotbah di masjid. Bagi dia, ini sama saja Indonesia kembali ke era otoriter, dimana saat itu khotib di masjid selalu diawasi dan bahkan harus mendapat persetujuan pihak keamanan.
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Siti Nafsiah, MSW, menyarankan, sebaiknya isu itu tidak dimunculkan di ranah publik. "Saya berharap Jokowi tidak begitu. Semoga salah info saja. Namun jika benar, itu keterlaluan," jelasnya.
Jokowi kalau seperti itu berarti parno terhadap aktifitas keislaman. "Belum jadi presiden sudah mengawasi kegiatan dakwah di Masjid, bagaimana nantinya. Lagian kan Jokowi itu Muslim, masa mau menyakiti umat Islam, ingat kaum Muslim itu mayoritas di sini. Pendekatannya jangan begitu," papar Nafsiah.
PDI Perjuangan menjalankan aksi intelijen terhadap masjid-masjid. Mengawasi setiap khotbah yang ada. Anggota Tim Sukses Jokowi-JK Eva Kusuma Sundari tidak menampik itu. Dia mengatakan, memang kader partai yang muslim diminta untuk melakukan aksi intelijen terhadap masjid-masjid.