REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buruh migran Indonesia hingga hari ini masih merupakan salah satu masalah besar bagi bangsa yang belum terselesaikan. Belum ada kebijakan negara yang memberikan jaminan perlindungan bagi pemenuhan hak fundamental mereka sejak sebelum berangkat, ketika bekerja, hingga mereka pulang kembali ke Tanah Air.
"Bahkan sampai sekarang bermigrasi untuk bekerja bagi mayoritas buruh migran Indonesia terutama perempuan adalah pilihan keterpaksaan (forced migration)," jelas Direksi Migrant Care, Anis Hidayah, kepada Republika, Senin (9/6).
Menurutnya, kemiskinan yang menjauhkan mayoritas warga negara Indonesia dari akses atas pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karenanya, sebagai buruh migran mereka lekat diperlakukan sebagai komoditas, dekat dengan perbudakan dan bekerja dalam ancaman diskriminasi, kriminalisasi dan eksploitasi.
Kerentanan itu adalah situasi umum yang dihadapi buruh migran secara sistemik. Karenanya, Migrant Care menilai penting untuk membaca secara kritis visi misi capres-cawapres dalam agenda perlindungan buruh migran.
Ia mengatakan, dari visi misinya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tak memiliki agenda yang komprehensif dalam perlindungan buruh migran Indonesia. Berbeda dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memaparkan perlindungan buruh migran secara lebih komprehensif.
"Pasangan ini menjawab kebutuhan perlindungan dengan 10 langkah yang akan dilakukan untuk memastikan adanya perlindungan bagi buruh migran Indonesia," jelasnya.
Menurutnya, Jokowi JK akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Melindungi hak dan keselamatan warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya pekerja migran.
Jokowi dan JK juga akan membangun wibawa politik luar negeri dan mereposisi peran Indonesia dalam isu global. Serta membangun kapasitas untuk melindungi hak dan keselamatan warga negara Indonesia di luar negeri. Caranya, dengan memberi perhatian khusus pada perlindungan TKI.