REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil Gambir, Koptu Rusfandi dianggap mirip dengan yang dialami Prabowo Subianto.
"Pada 1998 Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan tanpa putusan pengadilan. Hanya karena para pimpinan ABRI kala itu takut dinilai tidak reformis dan takut bila Prabowo melancarkan kudeta terhadap rezim BJ Habibie," kata penasihat tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa Jawa Tengah, Suryo Prabowo dalam keterangan resminya, Selasa (10/6).
Ia menjelaskan, Rusfandi dilaporkan telah mempengaruhi dan mengarahkan penduduk berinisial AT untuk memilih pasangan capres/cawapres Prabowo-Hatta. Isu ini kemudian digunakan PDI Perjuangan untuk melontarkan sinyalemen adanya indikasi meragukan netralitas TNI dalam pilpres.
"Perilaku yang dilakukan oleh satu dari 50 ribu Babinsa yang diduga mempengaruhi satu dari 180 juta pemilih ini dijadikan pemicu bagi koalisi merah untuk memvonis bahwa netralitas TNI diragukan dan mengusulkan agar organisasi Babinsa dibubarkan atau paling tidak dibekukan," ujar dia.
Ternyata, lanjut Suryo, tudingan itu menimbulkan kepanikan di kalangan pimpinan TNI AD. Hingga kemudian Rusfandi dijatuhi hukuman penahanan selama 21 hari. Serta penundaan kenaikan pangkat tiga periode (1,5 tahun).
Hukuman itu dianggap diberikan tanpa adanya putusan pengadilan. Namun, hanya berdasarkan pemberitaan. Namun, itu berbeda dengan putusan Panglima TNI.
"Setelah diadakan pengecekan atas perkembangan yang simpang siur itu oleh Bawaslu ternyata apa yang dikatakan oleh pelapor itu tidak terbukti. Bahwa tidak ada perilaku penyimpangan seperti itu," tambah Suryo mengutip pernyataan Panglima TNI.
"Saya berharap, Rusfandi bisa setabah Prabowo yang rela berkorban demi menjaga nama baik Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Wakil Panglima ABRI Jenderal Fahrul Rozi," paparnya.