REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cawapres nomor urut satu, Hatta Rajasa, berbagi cerita di depan jamaah dan pengurus Pimpinan Pusat Rifa'iyah, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (12/6). Hatta menghadiri peringatan hari ulang tahun ke 149 ulama besar yang juga pendiri Rifa'iyah yaitu KH Ahmad Rifa'i.
Selain peringatan haul, juga diperingati 10 tahun penganugerahan gelar pahlawan nasional terhadap KH Ahmad. Ketua Umum PAN itu kemudian berbagi cerita. Khususnya menanggapi sambutan Ketua Umum Pimpinan Pusat Rifa'iyah KH Mukhlisin Muzarie yang menyebut Hatta bukan sosok antitahlil.
Hatta membenarkan bahwa ia bukan sosok yang alergi tahlilan. Semua itu berawal dari sang ibu atau dipanggilnya dengan sebutan emak, Syarifah Siti Aisyah. Hatta yang lahir di Palembang merupakan anak kedua dari 12 bersaudara.
Sebagai anak lelaki tertua, bukan hal yang aneh untuk membantu pekerjaan emak. Mulai dari menanak nasi, menyetrika pakaian hingga mengasuh adik-adiknya. "Agar jangan menangis," ujar Hatta.
Walau telah dibantu, tetap saja pekerjaan rumah tangga yang dilakukan emak membuatnya kerap tertidur akibat kelelahan. Suatu ketika, Hatta pun berdoa di depan emak yang tengah terlelap. "Ya Allah, kasihan emak," kata Hatta.
"Kalau Engkau izinkan, saya ingin menyenangkan hati emak. Cuma itu doa saya," kata Hatta menceritakan ulang doanya.
Singkat cerita, Hatta sukses menjadi seorang pengusaha di bidang perminyakan. Setelah itu, mulai medio 2000, Hatta menjabat sebagai menteri perhubungan hingga menjabat sebagai menko bidang perekonomian sejak 2009. Belum lama menjabat, tepatnya 9 Juli 2010, emak berada dalam situasi sakaratul maut.
Namun, kala itu Hatta tak berada di sisinya. Tugas negara mengharuskannya berada di Abuja, Nigeria untuk menghadiri pertemuan negara Islam. Hatta hadir mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sehari sebelumnya, Hatta mengaku menelepon emak dan mendapat pesan agar mendoakan yang terbaik. Tak lupa emak mengingatkan agar tahlilan dilaksanakan.
"Tepat 9 Juli, beliau wafat," kata Hatta. Kondisi itu membuat Hatta berharap dapat berada di sisi emak, mendoakan sampai memakamkannya.
Namun, tak ada pesawat yang dapat ditumpanginya. Jika pun ada, Hatta harus mengambil penerbangan ke Eropa sebelum kembali ke Jakarta dan itu memakan waktu dua hari. "Saat maghrib di Abuja, saya memohon agar bisa segera kembali ke Tanah Air," ujar Hatta.
Tak lama kemudian, wakil PM Malaysia Tan Sri Muhyiddin memberi kabar akan kembali ke Kuala Lumpur. Sontak ia meminta kesediaan untuk menumpang pesawat jet Tan Sri yang kemudian disanggupi dan Hatta kembali ke Indonesia.
yang lebih penting, katanya, doanya untuk hadir di pemakanan dan mengantarkan mayat emak hingga peristirahatan terakhir dikabulkan Allah SWT. Setelah itu tahlilan dilakukan. Baik itu hari pertama, hari ketiga, hari ketujuh, hari keseratus hingga hari keseribu. "Jadi kalau saya dibilang antitahlil, sama saja saya tidak menjalankan amanat emak," kata Hatta.
Menutup ceritanya, Hatta berpesan kepada para santri Rifa'iyah. "Tidak ada keberhasilan tanpa doa orang tua," ujar Hatta.