(kiri-kanan) Prabowo Subianto, Hikmahanto Juwana, dan Joko Widodo (Jokowi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga putaran ketiga, penguasaan isu dalam debat capres dianggap masih belum berubah. Prabowo Subianto masih menunjukkan kelasnya sebagai capres yang menguasai isu makro. Sementara Joko Widodo (Jokowi) lebih ke mikro.
"Kalau diibaratkan mobil, Prabowo ini produsen mobil. Dia punya visi yang jauh tentang industri otomotif. Sementara Jokowi seperti montir, dia tahu detailnya hanya jika mobil rusak," kata pengamat politik UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra dalam keterangan resminya, Senin (23/6).
Menurutnya, debat capres putaran ketiga yang mengangkat tema 'Politik Internasional dan Ketahanan Nasional' cukup menarik. Pada bagian awal, baik Prabowo mau pun Jokowi cukup seimbang menarik perhatian. Jokowi bahkan banyak menyampaikan agenda ambisius. Seperti pembelian drone (pesawat tanpa awak), perang cyber dan perang hybrid.
Namun, lanjutnya, Iswandi meragukan gagasan itu orisinil milik Jokowi. Karena selain teknologinya masih kategori rahasia, biaya yang dibutuhkan juga sangat besar.
"Menurut laporan Darpa Budget Summary Reports sejak 2008 hingga 2014, Amerika habiskan sekitar 766. 839.000 dolar untuk proyek drone tersebut. Beli bus saja dapat yang karatan, bagaimana mau beli drone?" paparnya.
Kemudian, ujar Iwsandi, memasuki sesi tanya jawab mulai terlihat kalau Jokowi tidak begitu mahir menguasai politik internasional. "Jawaban Jokowi soal laut Cina Selatan menunjukkannya tidak menguasai isu politik kontemporer yang berkembang di kawasan Asean," bebernya.
Menurut Iswandi, dalam debat capres tersebut Jokowi sebenarnya cukup cerdik karena ingin masuk dalam isu populis. Seperti pembelian kembali Indosat atau Tank Anoa. Namun isu tersebut justru menjadi blunder.
"Jokowi bilang Indosat dijual Megawati karena alasan krisis. Padahal di zaman Habibie dan Gus Dur lebih parah krisisnya, tapi tidak ada aset negara yang dijual. Soal Anoa, itu kan proyek kerja sama. Spare part-nya tetap didatangkan dari luar, kalau tidak salah Prancis. Ini mirip proyek mobil Esemka. Spare part dari Cina tapi diproduksi di Indonesia. Inilah bentuk model neokolonialisme itu," ujarnya.