REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Melawan Lupa akan mengugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gugatan diajukan karena KPU menetapkan calon presiden Prabowo Subianto yang dianggap memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Kasus pelanggaran HAM ini adalah pelanggaran hukum yang serius karena bertentangan dengan aturan perundang-undangan dan asas-asas umum Pemerintahan yang baik," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, usai seminar konsolidasi Ikatan Korban Hilang Indonesia (IKOHI) di Gedung Juang '45, Jakarta, Rabu (25/6).
Ia menjelaskan, ada sejumlah fakta hukum yang menyebutkan Prabowo bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat pada tahun 1997/1998.
Bukti itu berdasarkan dokumen hukum yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI, yang memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas militernya dan laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) Perisitwa Mei 1998.
Selain itu, dari hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998 dan penyelidikan tim ad-hoc kerusuhan Mei 1998, disebutkan Prabowo patut diduga bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai pimpinan militer saat peristiwa itu terjadi.
Dasar pelaporan ini adalah karena KPU sebagai penyelenggara Pemilu diberikan kewenangan melalui UU nomor 15/2011 tentang penyelenggaraan Pemilu, dan UU nomor 42/2008 tentang Pilpres dan Pilwapres, untuk menjamin partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam Pilpres.
Kemudian, dalam pasal 31 Peraturan KPU nomor 15/2014 juga disebutkan mengenai bahwa masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap pengusulan bakal pasangan calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik.
"KPU pun tidak pernah melakukan upaya klarifikasi atau verifikasi kepada lembaga terkait, seperti Komnas HAM, Mabes TNI dan pemerintah, serta lembaga terkait, sehingga yang bersangkutan (Prabowo) diloloskan menjadi capres," tuturnya.