REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden atau calon wakil presiden dari kalangan jenderal militer masih tetap menjadi isu menarik di kalangan publik dan partai politik. Bahkan, ada yang menyebutkan komposisi idealnya adalah sipil-militer ataupun militer-sipil.
Namun, jarang terdengar ada yang mengusulkan jenderal-jenderal Polri untuk dipasangkan dalam kompoisisi tadi. Meskipun polisi adalah bagian dari sipil, tetapi hampir tak ada yang mengusung jenderal polisi menjadi capres ataupun cawapres.
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Saiful Umam menilai, polisi tak dilirik dalam bursa capres-cawapres karena persepsi yang berkembang di masyarakat. Di mana, masyarakat menilai (meskipun penilaian ini sulit dibuktikan) bahwa polisi sebagai sosok yang culas, pungli, korup, dan pandangan buruk lainnya.
"Masyarakat kita itu kan berhubungan langsung dengan kepolisian mulai dari urus SIM, STNK, tilang, hingga melaporkan kejahatan," kata Saiful saat dihubungi Republika, Senin (17/3).
Dari hubungan langsungnya itu, masyarakat banyak melihat keburukan-keburukan dari polisi. Sehingga, kepercayaan masyarakat terhadap polisi pun buruk.
Partai politik, sebagai pihak yang berwenang dan diatur undang-undang untuk mengusung capres ataupun cawapres melihat kasus ini di masyarakat. Sehingga, sebuah kerugian bagi parpol jika mengusung jenderal polisi untuk menjadi capres ataupun cawapres. "Parpol kan tahu mana yang menjual," kata Saiful.
Berbeda dengan kalangan militer, meski tak dipungkiri militer juga tak bersih, tetapi masyarakat tak melihatnya. Karena, urusan militer adalah pertahanan negara bukan pelayanan masyarakat.
Sehingga, masyarakat tetap meliihat militer sebagai sosok yang tegas, gagah, dan tidak (terlihat) korupsinya. Partai pun melihat peluang ini dan akhirnya lebih memilih wacana pencapresan atau cawapres dari kalangan militer ketimbang polisi.