Home >> >>
Pengamat: Pemilihan Figur Cawapres Menentukan
Kamis , 10 Apr 2014, 01:45 WIB
Pemilu 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hitung cepat Pileg pada 9 April yang dilakukan beberapa lembaga survei menunjukkan tidak ada parpol yang meraih 20 persen suara. Namun, ada yang menarik dari hasil hitung cepat, yaitu efek Jokowi ternyata tidak sebesar yang diprediksi sebelumnya.

"Artinya, hasil quick count yang ketat membuktikan bahwa ini murni merefleksikan hasil kerja pimpinan dan kader partai. Selain itu, hasil ini mencerminkan kualitas organisasi ditambah dengan profil ketokohan dari para pimpinan partai dan caleg-calegnya," kata Ahli Statistik Politik Charta Politika, Arya Fernandes, Rabu (9/4).

Menurut dia, hasil hitung cepat menunjukkan bahwa pengalaman, kerja keras, dan soliditas partai menjadi faktor yang lebih menentukan dibandingkan figur capres.

Kedua, efek Jokowi tidak besar bahkan cenderung menurun karena justru banyak ditinggalkan oleh pendukungnya setelah dijadikan capres PDIP. Namun demikian, tanpa Jokowi sebagai capres, perolehan suara PDIP bisa jauh lebih kecil lagi.

Ketiga, semua parpol kembali ke basisnya pemilih tradisionalnya masing-masing karena rakyat sudah tidak percaya dengan pencitraan. Setelah ini, kata dia, capres dari tiga parpol terkemuka akan segera sibuk untuk membentuk koalisi dengan partai lain.

Satu alat tawar utama yang akan menjadi penentu untuk dinegosiasikan adalah posisi calon wakil presiden (cawapres) yang tentu diikuti kursi di kabinet. Menurut Arya, cawapres yang populer di mata pemilih menjadi penentu dalam kemenangan di Pilpres.

"Partai pemenang hasil quick count bisa jatuh koalisinya di Pilres jika tidak punya cawapres yang diinginkan rakyat. Kata kuncinya dari hasil quick count adalah pengalaman, kemampuan managerial partai, dan ketokohan yang menentukan partai pemenang," ujar Arya.

Lalu figur cawapres seperti apa yang diimpikan masyarakat pemilih? Menurut Arya, sosok itu harus dapat 'saling melengkapi' dengan figur capresnya. "Sekali lagi tidak terlalu penting muda atau tua. Atau apa background ideologinya, atau bagaimana pencitraannya karena rakyat tidak mau lagi populisme. Yang dicari adalah idealisme dan pengalamannya."

Redaktur : Didi Purwadi
Reporter : Erik Purnama Putra
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar