REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pernyataan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk bersedia berkoalisi hanya jika kader internalnya menjadi calon wakil presiden (cawapres) tentu semakin memanaskan suhu politik Indonesia menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden 2014.
Pengamat politik The Habibie Centre (THC), Bawono, menegaskan kemungkinan pola koalisi akan semakin dinamis pasca pernyataan politik PKB itu. Apalagi partai yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) itu memiliki modal suara lebih dari sembillan persen.
"Secara eksplisit, PKB memang telah menyatakan mengincar posisi cawapres. Hal ini tentu membuat perkembangan politik semakin dinamis," ujar Bawono pada kepada Republika, Jumat malam (11/4).
Jika diamati, tutur Bawono, basis tradisional massa PKB memang memiliki kedekatan sosial, politik dan historis dengan basis massa tradisional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sehingga di akar rumput, papar Bawono, sebenarnya tidak ada masalah jika PDIP dan PKB berkoalisi dalam pemilu presiden 2014 ini. Apalagi almarhum Gus Dur dan Megawati dahulu pernah memimpin pemerintahan bersama.
Namun, lanjut Bawono, jika capres PDIP, Joko Widodo (Jokowi), jadi berpasangan dengan bakal capres PKB, Mahfud MD, maka problem utamanya adalah sama-sama etnik Jawa. Hal ini tentu kurang representatif bila dilihat pemilih luar Jawa.
Apalagi nama Jokowi di luar Jawa, jelas Bawono, belum luas dikenal masyarakat seperti di Jawa. Jadi, sepertinya PDIP akan cenderung lebih memilih cawapres dari luar Jawa. Nama Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Rajasa, lebih pas untuk mendampingi Jokowi.