REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi multipartai yang berjalan di Indonesia kerap dikritik. Padahal, keberadaan koalisi dalam sistem presidensial multipartai merupakan sebuah keniscayaan berjalannya pemerintahan.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengatakan, koalisi adalah salah satu solusi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam hubungan presiden dan DPR. Meskipun ada sejumlah kasus yang menunjukkan problematika dalam koalisi, kata dia, secara umum dapat membantu terjalinnya hubungan eksekutif dan legislatif yang dinamis.
"Selama ini ada anggapan koalisi dalam sistem presidensial sebagai masalah, padahal dapat dipandang sebagai solusi," kata Djayadi saat peluncuran buku 'Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia' di Universitas Paramadina, Jumat (25/4) malam.
Menurut dia, koalisi adalah salah satu jalan untuk mengatasi kebuntuan yang rawan terjadi dalam sistem presidensial. Pasalnya, dengan koalisi maka kekuasaan eksekutif dam legislatif dapat berjalan seimbang dan tak saling menjatuhkan.
Namun, kata Djayadi, koalisi multipartai dapat pula berfungsi efektif atau tidak, akan tergantung pada kepemimpinan lembaga kepresidenan. Juga, besar kecilnya koalisi bakal mempengaruhi sejauh mana dapat dipertahankan.
"Dalam sistem presidensial yang partainya sangat terfragmentasi seperti Indonesia, ada kecenderungan presiden membentuk koalisi superbesar," ujar Djayadi.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie memuji kualitas buku yang dibuat Djayadi. Menurut dia, isu yang terangkum dalam kajian sangat menarik karena menyangkut problem riil tentang bangsa dan negara. Sistem presidensial yang berlaku di Indonesia, kata dia, angat mencerminkan multikultural budaya Indonesia.
Karena itu, ia memprediksi upaya kelompok tertentu untuk menyederhanakan partai di Indonesia lewat batas ambang tinggi tidak akan berhasil. "Kita tidak bisa menghindar dari kemungkinan multipartai. Jadinya, presiden terpilih tidak harus menguasai parlemen dan partai pemenang bisa koalisi," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.