REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Belum ditetapkannya calon wakil presiden (cawapres) definitif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mendampingi Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) PDIP menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat.
Termasuk tentang kemungkinan alotnya jual beli "mahar politik" antara kedua partai politik (parpol) itu. Yakni, belum ada kesepakatan tentang "mahar politik" yang harus dipenuhi PDIP agar PKB mau berkoalisi.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio, menyatakan kemungkinan besar terdapat "mahar politik" dalam setiap jenis koalisi parpol di Indonesia, termasuk antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDIP.
"Mahar politik merupakan faktor yang tidak kalah menentukan dalam praktik koalisi parpol di Indonesia. Biasanya, mahar politik itu berupa pembagian kursi menteri, capres/ cawapres, bahkan uang," ujar Agung saat dihubungi Republika, Jumat malam (2/5).
'Mahar politik' itu, papar Agung, memang belum tentu terjadi, namun potensi ke arah sana sangat besar. Lalu, bagaimana cara menentukan ukuran mahar politik?
Mahar politik, tutur Agung, ditentukan berdasarkan tingkat elektabilitas dan popularitas calon presiden dan parpol pengusungnya.
"Saya kira, bagi PDIP yang sudah tidak membutuhkan 'boarding pass' untuk mencalonkan Jokowi sebagai Capres, nilai jual PKB sangat kecil," papar Agung.
Apalagi jika PKB, lanjut Agung, tidak mampu merangkul 'vote getter' Rhoma Irama, yang terbukti memiliki efek besar dalam menaikkan suara PKB.
PKB, jelas Agung, justru memiliki nilai jual tinggi bagi partai yang masih membutuhkan boarding pass untuk mencalonkan presidennya sendiri dalam pemilihan umum (pemilu) presiden (pilpres) mendatang.
Rela atau tidak rela, pungkas Agung, boleh jadi PDIP dan PKB punya kesamaan visi sehingga mereka tidak mempermasalahkan posisi cawapres.