REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa menilai Prabowo Subianto tak pantas maju menjadi kandidat presiden 2014. Karena diduga kuat, ia memiliki masalah hukum dan moral terkait penghilangan paksa 13 aktivis 1997-1998.
"Penolakan terhadap capres melanggar HAM adalah bentuk perjuangan melawan lupa demi memajukan kehidupan demokrasi dan penegakan hukum yang lebih baik," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa Poengky Indarti di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (7/5).
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa terdiri dari Imparsial, KontraS, Setara Institute, Human Rights Working Group, sejumlah keluarga korban tragedi Trisakti, keluarga korban penghilangan paksa dan LSM lain. Rabu, mereka datang ke Komnas HAM menuntut lembaga negara itu memeriksa Prabowo dan mantan mantan kepala staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Prabowo diduga kuat terlibat dalam penghilangan paksa 13 aktivis dalam kapasitasnya sebagai komandan Kopassus kala itu. Sedangkan Kivlan Zen belum lama ini menyatakan mengetahui di mana 13 orang hilang itu ditembak dan dikuburkan.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa menilai, Prabowo tak bisa lepas dari tanggung jawab komando. Terlebih berdasarkan keterangan sebagian orang yang diculik dan dibebaskan, mereka bertemu dengan sebagian besar dari 13 orang yang kini masih hilang, di Pos Kotis markas Kopassus di Cijantung.
Direktur Human Rights Working Group Rafendi Jamin menambahkan, kasus kejahatan yang diputihkan (impunitas) hanya dapat diselesaikan dengan adanya peluang politik. Karenanya, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa bergerak pada saat pilpres akan berlangsung.
Namun, koalisi tersebut menegaskan tidak memiliki urusan dengan peristiwa politik yang tengah terjadi. "Persoalan impunitas hanya bisa diselesaikan dengan adanya peluang politik. Seluruh dunia akan mengecam ketika peluang politik ini tidak dipergunakan, dan akan menjadi dosa besar di masa depan bagi Komnas HAM," kata dia.