REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mengungkapkan bahwa kasus ijazah Asli-Palsu (Aspal) sudah menjadi perhatian di masa pemerintahnya. Bahkan, kata dia, ini juga pernah dibahas di pemerintahan sebelumnya.
“Jadi, tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak memperhatikan kasus ijazah palsu,” terang Nuh saat ditemui wartawan di salah satu pusat perbelanjaan kawasan Senayan, Rabu (27/5).
Ia menegaskan, baik pihaknya di masa pemerintahan dia atau sebelumnya itu tidak pernah membiarkan kasus ini.
Nuh menjelaskan, pada masa pemerintahan sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pernah mengingatkan kasus ijazah ini.
Menurutnya, Kemendikbud telah menggencar-gencarkan imbauan agar masyarakat hati-hati terhadap penggunaan ijazah palsu. Penyebabnya, kata dia, ketika itu gelar-gelar dari ijazah Aspal sedang marak-maraknya beredar di masyarakat.
Nuh juga mengutarakan, pengguna ijazah Aspal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa. Menurutnya, hal serupa juga terjadi pada kalangan pejabat.
Oleh sebab itu, Nuh mengungkapkan telah membangun peraturan tegas perihal itu di masa pemerintahan Kemendikbudnya pada waktu lalu.
Menurut Nuh, sanksi terhadap lembaga yang mengeluarkan dan menerima ijazah dan sertifikat palsu telah tertera di Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dia menerangkan, pada UU tersebut, pemerintah siap memberikan sanksi berupa 10 tahun penjara. Atau, lanjut dia, pelaku diminta untuk mengganti denda yang berkisar Rp 1 Miliar.
“Dengan adanya UU ini menjadi bukti bahwasanya kasus ijazah palsu memang sudah ada di Indonesia dan pemerintah memang sudah melakukan penindakan terhadap hal tersebut,” tegasnya. Hanya saja, lanjut dia, suasana kasusnya tidak seramai yang terjadi saat ini.