REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Institut Pertanian Bogor (IPB) dari dulu terkenal sebagai kampus rakyat. Kebanyakan mahasiswa yang kuliah di IPB, apalagi yang melalui jalur undangan (kini disebut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) umumnya berasal dari keluarga miskin.
Mereka berasal dari seluruh daerah di Indonesia, hingga peloksok-peloksok desa. Jangan heran kalau di suatu kecamatan, hanya ada satu pemuda yang kuliah, dan dia itu adalah mahasiswa IPB.
Kisah tentang para mahasiswa IPB yang kesulitan keuangan atau datang ke Bogor dengan modal nekad bukan hal baru. Dan hal itu pun masih terjadi hingga saat ini, tahun 2016 yang merupakan Angkatan ke-53.
Sebanyak 430 calon mahasiswa baru (camaba) IPB Angkatan 53 terancam gugur akibat terkendala biaya. Mereka belum membayar biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pihak IPB telah memperpanjang batas akhir pembayaran UKT tersebut dari tanggal 2 Juni 2016 menjadi Rabu, 8 Juni 2016.
Hal tersebut sebagai dampak kuota Bidikmisi IPB yang tahun ini turun drastis dari total 800 orang tahun lalu menjadi hanya 270 orang untuk jalur SNMPTN tahun ini. Sementara itu pelamar Bidikmisi di jalur SNMPTN tahun ini mencapai 700 orang, sehingga ada 430 orang yang tidak memperoleh Bidikmisi tersebut.
Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada mahasiswa yang kurang beruntung dari sisi ekonomi, tetapi memiliki potensi. Meskipun demikian, umumnya penerima Bidikmisi adalah mereka yang pada waktu SMTA-nya merupakan siswa yang pintar dan berprestasi.
Menurut Kepala Biro Hukum, Promosi dan Humas IPB Yatri Indah Kusumastuti, para pelamar Bidikmisi itu umumnya anak-anak yang sangat pintar, banyak di antaranya yang juara umum. “Namun umumnya mereka secara ekonomi sangat lemah,” kata Yatri pekan lalu.
Yatri menambahkan, banyak di antara mereka yang merupakan anak yatim piatu. Banyak pula yang selama bersekolah di SMA tinggal di rumah gurunya, karena orang tua mereka tidak mampu.
Mereka berangkat ke Bogor pun atas biaya dari guru-gurunya. Di Bogor, mereka ditampung oleh kakak-kakak kelasnya di organisasi mahasiswa daerah (OMD).
Yatri menabamhkan, sebenarnya banyak juga di antara camaba Angkatan 53 yang tidak melamar Bidikmisi, tapi sangat layak dibantu. “Mereka benar-benar gigih berusaha untuk bisa masuk IPB dengan cara pinjam sana-sini, pakai uang tabungan yang tidak seberapa dan lain-lain,” kata Yatri.
Yatri melanjutkan, ketika para camaba tersebut ditanya , "Nanti kamu bagaimana untuk biaya hidup di Bogor?" , jawabannya sungguh mengharukan. "Kan kabarnya di IPB banyak tawaran beasiswa ya Bu? Saya akan lebih giat belajar agar nilai saya bagus sehingga bisa mendapatkan beasiswa yang lebih baik, Bu. Dan saya juga bisa bekerja, kasih les murid SMP dan lain-lain.”