REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Indonesia dikenal sebagai negara produsen pisang terbesar ke-7 di dunia. Melimpahnya produksi pisang ternyata dapat menjadi peluang mengeksplorasi sumber energi terbarukan.
Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan salah satu bagian tanaman pisang yakni batang atau kedebongnya. Bagian tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal karena orang lebih melihat nilai ekonomi dari buah dan daun pisang.
Setidaknya inilah yang diyakini oleh Kholik, mahasiswa Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) yang intens meneliti kedebong pisang. Risetnya berujung pada pemanfaatan kedebong pisang untuk menghasilkan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan.
“Kedebong pisang masih sangat kurang dimanfaatkan dan ketersediaannya berlimpah di Indonesia. Selain itu, kandungan selulosa yang cukup tinggi dari batang pisang yakni hingga 45 sampai 65 persen juga menjadi alasan mengapa kedebong pisang cocok digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi biohidrogen," ujarnya, Jumat (10/3).
Kholik mengatakan, dibutuhkan metode khusus untuk mengolah kedebong pisang agar dapat menghasilkan biohidrogen. Dari berbagai metode yang ia pelajari, ia cenderung memilih metode fermentasi gelap (dark fermentation) sebagai cara efektif mengolah kedebong pisang sebagai sumber energi.
Alasannya karena metode ini dinilai memiliki beberapa keunggulan. Antara lain dapat mengurangi volume limbah organik batang pisang, lebih stabil prosesnya, ramah lingkungan, hemat energi, dan tidak menuntut adanya peralatan canggih sehingga lebih mudah diaplikasikan.
Metode tersebut memanfaatkan proses fermentasi dari material organik yang diubah menjadi hidrogen melalui reaksi-reaksi tertentu. “Di sini terdapat peran beberapa jenis bakteri anaerob yang bertugas mengurai gedebog pisang melalui reaksi biokimia kompleks. Terdapat tiga tahapan utama pengolahan yang dimulai dari pretreatment, hydrolysis, dan terakhir tahap fermetasi," ujarnya.
Pada tahap awal, batang pisang dipotong-potong menjadi bagian kecil untuk dikeringkan dengan pengering. Setelah dikeringkan, potongan tersebut digiling hingga menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya hasil penggilingan dicampur dengan larutan enzim dan bakteri pengurai hingga menghasilkan produk biohidrogen yang diinginkan.
Disinggung mengenai latar belakang penelitiannya, ia mengaku prihatin dengan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil di Indonesia yang masih sangat tinggi. Ia menilai perlu adanya inovasi baru yang memberikan banyak keuntungan dari berbagai sisi, baik dari sisi ekonomi, teknologi, dan kesehatan.
“Banyak kelebihan dari penggunaan bahan bakar hidrogen seperti tingkat efisiensi pembakaran yang tinggi hingga 80 persen dan juga sisa hasil pembakarannya berupa air (H2O) sehingga membuktikan bahan bakar hidrogen menjanjikan untuk masa depan," kata Kholik.
Hasil penelitian milik Kholik ini sempat dipresentasikan dalam sebuah forum ilmiah mengenai energi terbarukan di London, Inggris. Forum bertajuk 19th International Conference on Renewable Energy Sources and Technologies itu dihadiri para pakar interdisipliner dan multidisipliner dari berbagai negara.
Dalam kesempatan tersebut Kholik juga meraih penghargaan Best Presentation Award dari panitia penyelenggara. “Sangat bahagia dan bersyukur dapat berkontribusi untuk membawa nama baik Teknik Kimia FTI UII dan Indonesia di ajang forum ilmiah tingkat internasional," ujarnya.