REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) akan menjalankan instruksi Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 55/2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Mahasiswa secara bertahap. Menurut Rektor ITS Prof Joni Hermana, hal itu dilakukan agar ada penyesuaian dan penyamaan persepsi dari semua pihak yang terlibat.
"Maksudnya semua elemen kampus yang terkait harus sama persepsinya dulu sebelum diimplementasikan agar tidak terjadi multi tafsir dalam penerapannya sehingga bisa menimbulkan gegar budaya," kata Joni saat dihubungi Republika, Selasa (30/10).
Terlebih, kata Joni, dalam Permenristekdikti tersebut menginstruksikan bahwa organisasi ekstra kampus harus dilibatkan dalam pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKKMPIB). Sehingga harus dipastikan bahwa semua organisasi ekstra dan sivitas akademika benar-benar berjuang membina ideologi bangsa di ITS.
"Selama ini kebijakan kampus, memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti berbagai ormas yang ada dan legal di luar kampus. Tapi ke dalam (kampus), mereka harus satu warna yaitu warna ITS. Hal ini untuk menjaga soliditas atau kekompakan mahasiswa dan tidak mementingkan kelompoknya," tegas Joni.
Dengan diterbitkannya Permenristekdikti 55/2018 secara otomatis menonaktifkan Surat Keputusan (SK) Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 Tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. Karena itu dia pun berharap agar pemerintah siap dengan atmosfer kampus yang berubah.
"Apalagi terkadang mahasiswa lebih kreatif dari apa yang kita duga dalam menyikapi sebuah kebijakan," kata Joni.
Diketahui, pada Senin (29/10) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menerbitkan Peraturan Menristekdikti (Permenristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Peluncuran Permenristekdikti tersebut sebagai upaya pemerintah menekan paham-paham intoleran dan radikalisme di kampus.
Menristekdikti Mhammad Nasir menyampaikan, berdasar pada survei Alvara Research Center dengan responden 1.800 mahasiswa di 25 Perguruan Tinggi diindikasikan ada sebanyak 19,6 persen mendukung peraturan daerah (Perda) Syari'ah. Lalu 25,3 persen diantaranya setuju dibentuknya negara Islam, 16,9 persen mendukung ideologi Islam, 29,5 persen tidak mendukung pemimpin Islam dan sekitar 2,5 persen berpotensi radikal.