REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta kembali mengukuhkan guru besar, Selasa (10/12). Kali ini, guru besar bidang ilmu komunikasi, Iswandi Syahputra yang dikukuhkan.
Iswandi menyampaikan orasi ilmiah terkait hoaks dan spiral kebencian di media sosial. Tema tersebut ia pilih karena banyaknya fenomena masyarakat yang menerima informasi hoaks dan menjadikannya sebagai sebuah kebenaran.
Ia mengatakan, hoaks di media sosial telah membuat masyarakat Indonesia terbelah dalam perangkap saling membenci dan terpolarisasi. Bahkan, hoaks ini sering disampaikan oleh public actor yang dijadikan sebagai kebenaran.
"Seperti para pemangku agama, intelektual, seniman, budayawan, bahkan negarawan membuat informasi yang salah tersebut seolah-olah mengandung kebenaran dan melahirkan bibit-bibit kebencian yang sulit dikendalikan," ujarnya di UIN Suka Yogyakarta, Selasa (10/12).
Terkait munculnya kebencian yang menyebar cepat di media sosial, Iswandi menduga karena ada suatu hal yang patut dibenci. Padahal, sesuatu yang dibenci tersebut bersifat keliru.
"Karena kebencian di media sosial muncul karena adanya penyebaran dan penerimaan informasi hoaks dan bahkan mengandung ujaran yang tidak baik," ucap dia.
Proses penyebaran hoaks dan diterima oleh pengguna media sosial, ia gambarkan sebagai spiral. Spiral kebencian tersebut, katanya, bekerja secara diam-diam sebagai kebencian implosif yang tersimpan.
"Hingga meledak menjadi kebencian eksplosif sebagai ujaran kebencian atau hate speech," kata dia.
Ia pun menjelaskan empat lingkar spiral kebencian yang menyebar di media sosial. Pada lingkar spiral pertama, kebencian masih bersifat personal, tersimpan dan terpendam.
"Kebencian pada lingkar ini muncul karena adanya penerimaan, penyerapan atau internalisasi berbagai informasi yang tersebar pada berbagai jenis media sosial," jelasnya.
Pada lingkar spiral kedua, kebencian muncul sebagai akibat saling berbagi informasi. Sehingga menimbulkan kebencian bersama terkait informasi tertentu pada satu kelompok yang memiliki karakteristik spesifik yang sama.
“Pada tahap ini, informasi yang beredar dianggap mengandung kebenaran sehingga dapat mengokohkan pandangan anggota kelompok yang sejenis," katanya.
Pada lingkar spiral ketiga, kebencian terjadi pada lintas kelompok pengguna media sosial. Pada tahap ini, informasi bukan lagi sekedar informasi.
Namun, informasi tersebut sudah menjadi agenda atau isu publik. Sementara, pada lingkar spirla keempat, kebencian meledak sebagai ujaran kebencian yang tersampaikan di media sosial akibat mendapat dukungan dari kelompkok komunal.
“Proses pada level ini terjadi secara hiper-interaktif. Saling serang dengan berbagai ujaran kebencian menjadi masif dan terbuka. Proses tersebut tidak dapat dikendalikan karena kebebasan berpendapat dalam iklim demokrasi yang dianut," ujarnya.
Untuk menangkal kebencian di media sosial, ia pun meminta perhatian dari akademisi, pemerintah maupun pengguna media sosial. Menurutnya, seorang akademisi perlu untuk memperkuat budaya riset berbasis big data, budaya membaca, budaya berpikir kritis dan budaya untuk berani berpendapat.
Hal itu ia sampaikan karena hoaks dan kebencian di media sosial hanya dapat dihentikan dengan budaya riset, membaca, berpikir, kritis dan berpendapat. Ia juga meminta perhatian pemerintah untuk tetap menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara pengguna internet di media sosial.
"Kebebasan saat ini harus benar-benar dijamin pemerintah sebagai freedom for, bukan freedom from. Pemerintah dan negara harus cermat dalam membedakan antara hoaks dengan kritik dan satir," katanya.
Sementara, terhadap pengguna media sosial, ia juga meminta agar lebih cermat dalam bermedia sosial. "Kebebasan berbicara bukan berarti bebas membenci. Freedom of speech bukan berarti freedom to hate. Gunakan jempol untuk konten jempolan," ujarnya.