REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Hafil/Wartawan Republika
Waktu masih tersisa 30 menit bagi Rukun (16 tahun) untuk menyelesaikan soal ujian kenaikan kelas (UKK) SMP Mekar Tanjung. Remaja berkacamata tebal itu tak terpengaruh dengan hilir mudik beberapa temannya saat mengumpulkan lembar jawaban ke guru pengawas yang duduk di muka kelas. Matanya tetap diarahkan ke soal ujian sambil tangannya sesekali menggaruk kepala. Perlahan tapi pasti, ia membulatkan kolom-kolom kosong dengan pensil untuk menjawab setiap pertanyaan dalam soal.
Dari luar kelas, Ahmad Fauzan, guru mata pelajaran PPKN sekaligus wakil ketua Bidang Kurikulum SMP Mekar Tanjung, mengamati 19 orang yang merupakan siswa kelas VIII. Mereka semua, termasuk Rukun, sedang mengikuti ujian mata pelajaran teknologi informasi komputer (TIK) pada Kamis (11/6) pekan lalu.
Dalam keheningan suasana ujian, Fauzan menceritakan bahwa ia masih suka tak menyangka Rukun tak lagi ia dampingi saat sedang ujian. Selama hampir satu setengah tahun, ia bersama guru-guru lainnya membacakan soal untuk Rukun saat ujian sekolah sedang berlangsung.
Penglihatan Rukun pada waktu itu terganggu sehingga ia kesulitan untuk membaca. “Jangankan untuk membaca soal ujian, membaca di papan tulis saja yang hurufnya lebih besar dia tidak bisa. Rukun terkadang harus duduk di lantai paling depan supaya dia bisa membaca tulisan di papan tulis,” kenang Fauzan kepada Republika, di SMP Mekar Tanjung yang beralamat di Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Selain membacakan soal, Fauzan dan guru lainnya yang mengawasi berlangsungnya ujian, juga mengarahkan tangan Rukun saat hendak mengisi lembar jawaban. “Kalau gak dibantu, gak mungkin bagi dia untuk mengisi bulatan-bulatan kosong di lembar jawaban komputer,” katanya.
Selama itu, pihak sekolah memberikan pengecualian dan keringanan untuk Rukun saat ujian. Dia diberi tambahan waktu agar bisa menyelesaikan ujiannya. Karena, soal yang dibacakan oleh guru membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan soal yang dibacakan langsung oleh siswa peserta ujian.
Selain mengerjakan soal yang membutuhkan pertolongan orang lain untuk Rukun, untuk berangkat sekolah dan pulang pun dia harus diantar. Orang yang paling setia untuk mengantar Rukun pergi dan pulang dari sekolah adalah ibunya. Menurut Fauzan, ibunya khawatir jika Rukun tak diantar akan tersesat karena gangguan penglihatannya itu.
Kacamata
Sejak kecil, Rukun menderita rabun jauh, sebuah kerusakan mata refraktif. Meski kerusakan matanya sangat parah, seumur hidupnya tak pernah menggunakan kacamata untuk melihat. Menurut pihak sekolah, orang tuanya tak sanggup untuk membelikan Rukun kacamata.
Keadaan mulai berubah pada akhir 2014. Kepala Sekolah SMP Mekar Tanjung, Arni Sunarti, menceritakan, PT Astra International Tbk menawarkan program pemeriksaan mata gratis bagi seluruh siswa SMP Mekar Tanjung. “Padahal, kita tak pernah meminta pemeriksaan kesehatan mata, apalagi minta bantuan kacamata. Tetapi, Astra yang datang sendiri ke kita dan menawarkan program itu,” kata Arni.
Tawaran itu disambut baik oleh pihak sekolah. Program itu dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, seluruh siswa diberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan mata. Dari tahap pertama, diketahui ada 54 siswa yang menderita kerusakan mata. Dari 54 orang itu diketahui bahwa Rukun yang paling mengalami kerusakan paling parah. “Mata dia itu ternyata minus 16,” kata Arni.
Tahap kedua, 54 siswa itu dibawa ke kantor Astra di Kawasan Sunter, Jakarta Utara, untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan. “Setelah itu, tahap ketiga baru diputuskan 54 orang siswa diberikan bantuan kacamata gratis,” kata Arni.
Pada 26 Januari 2015, pihak Astra kembali mendatangi SMP Mekar Tanjung untuk memberikan bantuan kacamata. Pada hari itulah, untuk pertama kalinya bagi Rukun dalam hidupnya menggunakan kacamata. “Waktu mendapatkan pemberian kacamata itu Rukun sangat terharu,” kata Arni.
Menurut Arni, pemberian kacamata gratis itu sangat membantu. Tidak hanya bagi Rukun, tetapi bagi ke-53 siswa lainnya yang mendapatkan kacamata. Karena, mereka semua merupakan anak-anak yang orang tuanya kurang mampu sehingga tak bisa membelikan kacamata bagi anak-anaknya.
Arni menyebut 90 persen siswa di SMP Mekar Tanjung berlatar belakang ekonomi keluarga yang kurang mampu. “Ya, rata-rata orang tua siswa di sini hanya buruh cuci dan pembantu. Kalaupun ada yang bisa dikategorikan siswa dengan keluarga cukup berada, paling hanya satu atau dua orang saja,” katanya.
Khusus bagi Rukun, Arni mengatakan pemberian kacamata itu adalah anugerah. Ini karena Rukun mengalami masalah paling besar dalam belajar akibat gangguan dalam penglihatannya itu.
Lima bulan sejak pertama kali menggunakan kacamata, Rukun sekarang banyak berubah. Dia terlihat lebih mandiri dalam mengurus dirinya untuk sekolah. Hal tersebut berdasarkan kebiasaannya sekarang yang berangkat dan pulang sekolah sendiri tidak lagi diantar oleh ibunya. “Dia sekarang sekolah suka jalan kaki sendiri dan bahkan suka naik sepeda,” ujar Arni.
Oleh pihak sekolah, Rukun memang dibelikan sepeda untuk sarana transportasi. Ini sebagai wujud sukacita pihak sekolah atas banyaknya kemajuan dari Rukun setelah menggunakan kacamata.
Saat ujian pun, dia tak lagi perlu didampingi oleh guru untuk membacakan soal. Selain itu, dia juga tak memerlukan lagi tambahan waktu saat ujian. “Jadi, saat jam ujian selesai, dia keluar kelas bersama yang lainnya,” kata Arni.
Dia juga tak perlu lagi duduk di depan lantai untuk melihat penjelasan di papan tulis saat belajar. Dia sekarang cukup duduk di barisan tengah.
Untuk prestasi akademis, pihak sekolah mengakui Rukun tak terlalu istimewa. Namun, Arni yakin perlahan tapi pasti, Rukun akan membuktikannya.Ini terlihat dari daya juangnya yang tinggi dalam belajar setelah ia menggunakan kacamata. “Saya melihat cara rukun bersyukur atas hadiah kacamatanya adalah dia sering terlihat lebih awal datang ke sekolah dibanding teman-teman yang lain dan sama sekali tidak membolos,” katanya.
Miskin
Republika berkesempatan mengunjungi rumah kontrakan orang tua Rukun. Letaknya di Gang Bahari 1, Kebon Kelapa, RT 11/RW06, Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Bangunan yang berdiri di atas tanah negara itu terletak persis di bawah jembatan Tol Tanjung Priok.
Ukuran ruang kontrakan hanya 3x3 meter. Lantainya terbuat dari semen, tetapi tembok seluruhnya dari bilik kayu. Atapnya terbuat dari seng yang memiliki belasan lubang. Untuk menghindari air hujan, langit-langit kontrakan dipasang terpal plastik.
Udara pengap terasa saat memasuki ruangan tersebut. Sirkulasi udara tak berfungsi dengan baik. Bisa jadi ini disebabkan ruang yang satu dengan yang lainnya saling berdempetan. Ruangan sempit itu masih dibagi untuk dua tingkat yang diperuntukkan bagi tempat tidur. Rukun tidur di sana, sedangkan di bawah untuk tidur ibunya Rukun.
Rohini (45), yang merupakan ibu kandung Rukun, menceritakan bahwa anak bungsunya dari lima bersaudara hidup miskin sejak lahir. Saat Rukun menginjak usia tiga bulan, ayahnya meninggal dunia. Rukun menjadi anak yatim sejak saat itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rohini menjadi pemulung botol-botol plastik bekas minuman. Hidupnya yang pas-pasan membuatnya tak menganggap penting pendidikan untuk Rukun. “Ya bagaimana mau sekolah, dari dulu buat makan aja susah. Kadang hari ini makan, besok tidak,” ujar Rohini mengenang.
Satu hal lagi selain soal kekurangan biaya, yang membuatnya tak ingin menyekolahkan Rukun karena mata Rukun sejak kecil sudah bermasalah. Ia tak yakin Rukun mampu membaca buku di sekolah.
Hingga akhirnya, pada usia delapan tahun ibunya baru mau menyekolahkan Rukun. Sejak saat itu hingga Rukun masuk SMP, dia selalu mengantar dan menjemput Rukun ke sekolah. Dia takut terjadi apa-apa dengan anaknya yang matanya bermasalah tersebut.
Dia menceritakan, tak pernah berpikir untuk memeriksakan mata anaknya ke dokter, apalagi membelikan kacamata. Sekali lagi, tidak memiliki uang menjadi alasannya untuk tidak melakukan itu.
Kakak-kakak Rukun yang sudah memisahkan diri pun, menurut Rohini, tak satu pun yang sukses. “Untuk hidup mereka saja susah, apalagi untuk membantu Rukun,” katanya.
Sekarang, setelah Rukun berkacamata, bebannya sudah jauh berkurang. Ia tak perlu lagi merasa cemas saat anaknya pergi dan pulang sekolah. Rukun pun sekarang banyak membantu pekerjaan rumah. “Alhamdulillah banget deh setelah dia pakai kacamata,” kata Rohini.
Sementara Rukun, yang mendampingi ibunya bercerita itu menimpali bahwa ia kadang suka merasa bersalah terus membebani ibunya karena gangguan penglihatannya dulu. Namun, sekarang setelah berkacamata, ia bertekad untuk mengubah nasib. “Sekarang di rumah, saya banyak membaca buku. Saya harus sekolah tinggi agar bisa membalas budi baik ibu,” kata Rukun.
Rukun mengaku, sebelum menggunakan kacamata, ia tak pernah belajar di rumah. Ini disebabkan tak ada yang membantunya untuk membaca.
Ibunya yang bekerja sebagai pemulung itu sering sakit-sakitan sehingga tak cukup kuat untuk membacakan buku pelajaran. "Makanya, saya sekarang tak ingin mengecewakan jerih payah ibu dan orang-orang yang banyak membantu saya. Saya ingin buktikan bahwa saya bisa bersaing di sekolah," kata Rukun.
Rukun yang lain
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi memengaruhi proses belajar anak Indonesia. Proses belajar anak usia sekolah akan terhambat sehingga memengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas mereka dalam pendidikan. “Ini akibat dari penderita kelainan refraksi usia sekolah tak mampu membaca dengan baik,” kata Nila kepada Republika, Selasa (16/6).
Berdasarkan hasil penelitian kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun), 10 persennya mengalami gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi. Namun, angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah. “Karena itulah, latar belakang saya sebagai dokter mata, sangat berharap program CSR (corporate social responsibility) sering-sering memberikan kacamata bagi anak yang kurang mampu,” kata Nila.
Tidak hanya pemberian kacamata, tetapi perusahaan yang memberikan bantuan kacamata juga berkewajiban untuk mengevaluasi kesehatan mata anak itu minimal satu tahun sekali. Jangan hanya memberikan kacamata gratis, tetapi setelahnya dilepas begitu saja.
Untuk mencegah kerusakan mata yang lebih parah, Nila menyarankan kepada para orang tua, guru, dan juga pihak swasta melalui program CSR-nya untuk memeriksakan mata anak sejak usia enam tahun. Karena pada usia itu, penglihatan anak sudah normal. “Nah, kalau dari pemeriksaan itu ditemukan gangguan, seperi kelainan refraksi, segera dibantu penanganannya agar belajarnya tidak terganggu,” kata Nila.
PT Astra International Tbk sebagai perusahaan yang memberikan bantuan kacamata kepada Rukun dan anak sekolah lainnya menyambut baik saran dari Menteri Kesehatan tersebut. Yakni, tidak melepas begitu saja anak sekolah yang diberikan bantuan kacamata. “Misalnya, saat kita memberikan kacamata untuk Rukun, kita tak akan melepas begitu saja karena dia itu masuk dalam ring satu kita,” kata Wioko Yudhantara, project manager Generasi Sehat Indonesia PT Astra International Tbk.
Evaluasi akan dilakukan setiap tahun. Dari evaluasi itu, akan terlihat apakah ada perbaikan signifikan dari anak sekolah yang mendapatkan kacamata.
Untuk pemberian bantuan kacamata ini, Astra sudah memberikan kacamata gratis kepada 4.005 anak. Penerima bantuan tersebar di Jakarta, Atambua (Nusatenggara Timur), dan Nunukan (Kalimantan Timur). “Rencananya, kita akan mencari Rukun-Rukun di tempat lain yang membutuhkan kacamata,” kata Wioko.