REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua tahun silam, memasuki bangku kuliah hanyalah mimpi bagi Wahyu Widodo. Keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya jauh-jauh menyingkirkan keinginginannya menjadi mahasiswa. Pria yang kini berusia 19 tahun ini merasa harus tahu diri. Bagi anak seorang petani biasa, bisa menyandang status mahasiswa adalah sebuah kemewahan.
Baginya, sudah mengenyam pendidikan tingkat SMA saja rasanya sudah harus sujud syukur. Meski ingin meminta lebih, Wahyu harus menahannya. Wahyu cukup lama menganggur. Dia hanya membantu orang tuanya bercocok tanam. Tidak sekali orang tua memintanya supaya segera bekerja di pabrik-pabrik layaknya anak tetangga, namun berulang kali juga Wahyu menolak.
“Saya ingin membuka usaha sendiri,” ujar Wahyu kala itu.
Keinginannya membuka usaha hanya dibalas dengan tatapan tidak percaya dari kedua orang tuanya. Wahyu masih menganggur. Meski, keinginannya keras untuk membuka usaha, namun dia juga tak memiliki ide usaha yang bisa dijalani. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Bertepatan dengan bulan kelahirannya November tahun lalu, Wahyu diajak oleh seorang petugas perpustakaan daerah di Kabupaten Seragen, Jawa Tengah untuk mengikuti pelatihan komputer dan internet.
Wahyu yang saat itu masih menganggur, menyanggupi pelatihan tersebut. Wahyu tidak tahu jika hari itu menjadi salah satu jalan dia bisa berkuliah pada hari ini. Layanan internet di perpustaakaan daerah tersebut merupakan salah satu program PerpuSeru dalam mewujudkan visinya memberikan layanan teknologi informasi untuk menjadikan SDM Indonesia lebih berkompeten dan meningkatkan berkualitas masyarakat daerah. PerpuSeru berada dalam naungan CocaCola Fundation yang juga memiliki komitmen dalam mengembangkan pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Melalui layanan internet gratis yang disediakan oleh perpustakaan daerah tersebut, hampir setiap hari Wahyu berkunjung ke perpustakan. Dia mulai mengoperasikan internet, browsing-browsing, dan melihat video-video inspiratif dari orang yang berhasil dalam berwirausaha melalui internet.
Dia lalu terinspirasi untuk juga melakukan wirausaha. Sempat ngobrol dengan sang paman, Wahyu terisnpirasi untuk mengembangkan bibit jahe merah. Dia lantas mencari tahu melalui internet bagaimana mencari-cari keberadan jahe merah dan bagaimana memulai usaha dengan jahe merah tersebut.
Sepulang dari perpusda, Wahyu yang tidak memiliki sepeser uang meminta modal awal dari orang tuanya. Lagi-lagi, Wahyu harus menelan kecewa. Keinginannya belum disambut oleh sang orang tua lantaran usia yang masih muda. Akhirnya dia memutuskan untuk meminjam modal awal pada kakaknya sebesar Rp 200 ribu. Tanpa disangka, orang tuanya pun ikut menambahkan modal Rp 200 ribu. Genaplah Rp 400 ribu yang dimilikinya. Wahyu mulai mencari dan membeli bibit jahe melalui internet, kemudian melakukan penaburan.
Bukan tetangga namanya jika tidak usil, Wahyu yang terbilang masih sangat muda dipandang sebelah mata ketika memulai usaha menyemai bibit jahe merah. Anak usia 19 tahun tahu apa tentang cara bertani. Seperti itulah kira-kira pendapat wara tempatnya tinggal melihat Wahyu yang mulai sibuk dengan bibit jahe merahnya.
Sebulan berlalu, seolah menjawab apa yang dikatakan oleh tetangganya, hasil panennya gagal. Meski hanya berhasil sedikit sekali sebagai kenangan usaha pertamanya, Wahyu memotret jahe merah tersebut. Kemudian Wahyu kembali ke perpusda untuk mencari tahu sebab jahenya tidak membuahkan hasil sambil isenga-iseng dia meng-upload foto tanaman jahe merahnya.
Hanya berselang 2 jam, Wahyu tiba-tiba mendapatkan panggilan telephon dari Purwodadi dan Purwogiri yang hendak membeli bibit jahe merah. Saking semangatnya, akhirnya tibalah tanggal yang ditentukan untuk bertemu memberikan pesanan. “Saya waktu itu belum tahu tentang jasa pengiriman," ujar Wahyu polos.
Dengan hanya tersisa modal Rp 50 ribu, Wahyu mulai mencari bibit lagi dengan modal bertanya-tanya dan survey kebeberapa tempat. Alhasil, satu bulan kemudian bibit jahe merah tersebut mendapatkan hasil yang bagus. Kemudian Wahyu kembali memasarkannya melalui internet. Wahyu mulai banyak digandrungi pembeli.
Pembelinya bukan saja dua orang tersebut. Besok dan besoknya lagi di bulan Januari pelanggannya mulai bertambah dari Garut, Subang, Jepara, Jember, Sukabumi, dan daerah lainnya. Wahyu masih menggunakan kendaraan umum untuk bertemu dengan pembeli, misalnya di terminal atau di tempat yang telah di sepakati.
Dari yang awaal hanya memiliki lahan 1x3 meter, kini sudah hampir 30 meter persegi. Dari yang menanam bibit hanya 1 kg, kini sudah 100 kg. Omset yang dihasilkannya pun dari 4 hingga 10 juta dalam satu bulan. “Saya menjualnya, Rp 1000 per kilo,” ujar Wahyu.
Sekarang, Wahyu tercatat sebagai mahasiswa baru jurusan Agri Bisnis di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat dia kubur mimpi tersebut dalam-dalam. Wahyu juga mengatakan, saat ini bisnisnya bukan saja bibit jahe merah tapi juga jahe organik, pupuk organik, dan media lainnya. Kedepannya, Wahyu berharap bisa menjadi pengeksport jahe gajah.