Selasa 09 Aug 2016 12:58 WIB

Perbaiki Ini Dulu, Baru Bahas Full Day School

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah orang tua siswa mendampingi anak mereka pada hari pertama sekolah di SDN 05 Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Senin (15/7)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah orang tua siswa mendampingi anak mereka pada hari pertama sekolah di SDN 05 Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Senin (15/7)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog keluarga dan anak, Roslina Verauli, mengatakan sebelum menerapkan program fullday school, sebaiknya pemerintah mengkaji dulu apa isu yang mau diangkat sebenarnya. Apakah pendidikan anak, moral anak atau masalah keluarga.

“Ini masih perlu dikaji, kita musti paham, kalau kita ngambil sebuah program pendidikan kita mesti kenal latar belakang pendidikan dulu diambil seperti apa, jangan acak kadut, asal caplok. Mumpung masih wacana, ibaratnya membuat skripsi, baru kasih prosoposal, kalau sudah tidak tepat lebih baik hentikan sekarang,” jelasnya kepada Republika.co.id, Selasa (9/8).

Menurutnya, daripada membahas isu full day school, sebaiknya pemerintah memperbaiki dulu kualitas pendidikan di Indonesia. Jadi yang butuh dilakukan apa sebetulnya? Vera mengatakan yang utama adalah meningkatkan kualitas pendidikan dulu.

“Kita musti tahu dulu kualitas gurunya tinggi enggak, daripada menambah jam yang enggak perlu gini, mending menambah kualitas guru dulu, kualitas guru pendidikan tinggi, S1 ke atas,” sarannya.

Yang kedua, ternyata faktor lingkungan belajar anak turut menentukan kualitas belajar anak. “Sekolah-sekolah bobrok, dibenahi dulu. Ada sekolah yang atapnya mau roboh, diperbaiki dulu fasilitasnya. Jadi setting secara fisik tempat bermain  atau lingkungan pendidikan anak sudah benar belum,” ujarnya.

Selain itu pelajari bagaimana intrekasi anak dan orang tuanya. Apakah orang tua yang butuh seminar dan pelatihan. Juga bagaimana interaksi anak dengan guru di sekolah. “Guru juga perlu dibekali," tambahnya.

Full day school dijelaskan Roslina diterapkan di salah satunya, Amerika. Latar belakang penerapan adalah orangtua keluarga menengah ke bawah yang harus bekerja ganda atau dua pekerjaan demi menyambung hidup. Anak pun dititipkan ke sekolah dengan program seharian penuh karena di rumah tidak ada yang menjaga mereka.

Lantas apakah program ini cocok dilakukan di Indonesia? Menurut perempuan yang akrab disapa Vera ini, belum tentu cocok. “Apakah kenakalan remaja kita terjadi di jam tersebut? Di jam 2 sampai enam sore (jam pulang sekolah, red)?,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, perlu dilihat profil keluarga orang Indonesia. Secara sosial budaya Indonesia tipikal guyub, atau berkelompok, dengan kekerabatan yang kuat. Beda dengan di Amerika Serikat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement