Ahad 12 Mar 2017 19:41 WIB

'Budaya Baca Masyarakat Indonesia Tinggi, Tapi tak Ada Buku yang Dibaca'

Rep: umi nur fadhilah/ Red: Esthi Maharani
Pengunjung membaca buku di salah satu perpustakaan di Jakarta, Jumat (3/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pengunjung membaca buku di salah satu perpustakaan di Jakarta, Jumat (3/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Perpustakaan Nasional M Syarif Bando menegaskan, menumbuhkan budaya literasi pada anak merupakan tugas semua pihak. Menurutnya, rendahnya budaya baca anak Indonesia, tidak lepas dari dukungan infrastruktur di masing-masing daerah.

"Jangan hanya berhenti mengkritisi budaya baca di Indonesia rendah, rendah, rendah, tapi tidak melihat infrastrukturnya," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (12/3).

Menurut Syarif, orang Indonesia memiliki budaya baca yang tinggi. Ia mencontohkan, program Perpustakaan Nasional tentang peminjaman buku secara daring. Ia menyebut, ada satu buku yang mempunyai jumlah antrian peminjam hingga 500 orang.

"Saya pastikan budaya baca masyarakat Indonesia tinggi. Karena Indonesia merupakan negara dengan aksara terbanyak di dunia," tutur dia.

Syarif menyebut, yang perlu dipahami, yakni budaya baca masyarakat Indonesia tinggi, tetapi tidak ada buku yang dibaca.

"Bagaimana kita bisa melihat bahan bacaan di Kupang, Papua, Papua Barat daerah perbatasan, nggak ada koran, majalah, buku baru, toko buku," ujar dia.

Selama ini, Syarif mengatakan, pihaknya terus mendorong pendirian perpustakaan, ketersediaan toko buku, ketersediaan buku setara dengan jumlah penduduk. Ia menolak tudingan yang menyebut pemerintah atau Perpustakaan Nasional tidak mampu menyediakan buku. Namun, kesenjangan antarwilayah tidak bisa dihindari karena faktor geografis. Saat ini, ada 74 perpustakaan berstatus sangat baik di Pulau Jawa, tetapi 26 persen lainnya yang berada di luar Pulau Jawa dalam kondisi di bawah akreditasi c.

Syarif menyebut, media merupakan yang paling berperan dalam mengukur budaya baca masyarakat di suatu daerah. "Percaya atau tidak, budaya baca harus dimulai dari koran. Semakin tinggi budaya baca masyarakat, maka yang semakin cepat laris adalah oplah koran. Jadi di sebuah daerah dengan budaya yang paling tinggi, pasti yang paling cepat diukur adalah tingkat oplah koran yang laku," jelasnya.

Ia mengaku terus berupaya menyosialisasikan UU Nomor 47 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Namun, anggaran Perpustakaan Nasional terbatas, yakni hanya Rp 500 miliar pada 2017.

"Kita sudah mengadakan mobil untuk perpustakaan keliling, membagikan ke seluruh pelosok kecamatan, mengadakan buku-buku untuk pondok pesantren, ormas dan komunitas, tapi jumlahnya tak terjangkau," tutur Syarif.

Perpusnas juga melakukan sinergi dengan kementerian dan lembaga, seperti kementerian kesehatan, kementerian pemberdayaan perempuan, pemerintah daerah, komunitas masyarakat dan LSM untuk merangsang budaya baca masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement