REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Empat permasalahan utama yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia yaitu kualitas SDM Indonesia, kualitas mutu perguruan tinggi, relevansi kualifikasi SDM lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja, karakter kebiasaan manusia Indonesia.
Permasalahan tersebut diatas muncul dalam diskusi Education Outlook 2018 yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa Pendidikan di Meeting Room IBIS Budget Menteng pada Rabu 20 Desember 2017. Mengangkat tema “Meneropong Daya Saing SDM Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia”, Education Outlook kali ini menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Perwakilan dari pemerintahan, hadir Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D (Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti). Dari pihak perusahaan swasta, hadir Afiat Djajanegara (GA and Administration Manager PTTEP Indonesia), serta dari pihak Dompet Dhuafa Pendidikan diwakili oleh Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Muhammad Syafiie el Bantanie.
Ali Ghufron pada awal pemaparan materinya menyampaikan data bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia termasuk terbesar di dunia, yakni sebanyak 4539 Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan Indonesia termasuk negara yang memberikan cukup kebebasan untuk membuka perguruan tinggi.
"Apabila dibandingkan dengan Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,5 milyar, Indonesia masih mengungguli, sebab jumlah Perguruan Tinggi di Cina hanya sekitar 1500-an," memulai paparanya, dalam siaran pers yang diterima Ahad (24/12).
"Jumlah perguruan tinggi yang besar ini menghasilkan jumlah lulusan yang besar pula. Namun, dengan melimpahnya jumlah lulusan perguruan tinggi. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul. Salah satu yang menjadi sangat penting adalah tentang relevansi kompetensi," jelas penerima gelar Doktor Honoris Causa bidang kesehatan dari Coventry University di Inggris.
“SDM yang diproduksi perguruan tinggi jumlahnya besar, namun relevansi kompetensi mereka yang kurang sesuai dengan kebutuhan dunia menjadikan mereka kurang terserap, sehingga timbullah banyak pengangguran," papar pria kelahiran Blitar, 17 Mei 1962 ini.
Ia menambahkan bahwa Terdapat data yang cukup mencengangkan, dimana mahasiwa Indonesia hanya sekitar 5% yang menempuh program studi pertanian, 16% teknik, sedangkan yang terbanyak lulusan bidang sosial dan politik jumlahnya lebih dari 50%.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini sedang menyusun data kebutuhan SDM di dunia kerja agar hasilnya nanti dapat dijadikan acuan untuk menyusun pola pendidikan dalam perguruan Tinggi.
“Hal ini menjadi penting sebab perguruan Tinggi di Indonesia seharusnya menghasilkan lulusan yang siap untuk terjun mengelola potensi yang ada di Indonesia. Potensi yang besar di Indonesia tentunya adalah bidang pertanian dan kelautan. Potensi ini perlu dikelola penggunaan teknologi,” jelas pria yang juga rektor Universitas Trisakti Jakarta ini.
Selain relevansi kompetensi, perguruan tinggi juga harus merumuskan proses pendidikan yang dapat membangun karakter para peserta didiknya. Sebab karakter merupakan satu modal penting untuk kesuksesan seseorang.
“Jika bangsa Indonesia ingin unggul, harus memiliki karakter yang berkualitas” tutupnya.