REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maarif Institute menggelar seminar dan meluncurkan Program Sekolah Pemikiran Maarif di Aula KH Ahmad Dahlan, Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta pada Selasa (27/3). Seminar dan peluncuran Program Sekolah Pemikiran Maarif tersebut mengusung tema "Memposisikan Peran dan Pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif dalam Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia".
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, mengatakan Program Sekolah Pemikiran Maarif bertujuan untuk melakukan kaderisasi intelektual. Sekaligus melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii. Baik di ranah keislaman maupun kenegaraan yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinekaan.
"Buya seringkali secara jernih menyampaikan pandangan kritisnya terhadap berbagai permasalahan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan yang seringkali menyimpang dari rel yang seharusnya," kata Darraz melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Rabu (28/3) lalu.
Ia menerangkan, sikap dan pandangan kritis Buya Syafii yang perlu ditularkan dan disebarluaskan di kalangan generasi muda. Maarif Institute sebagai lembaga yang didirikan untuk menerjemahkan berbagai ide-ide besar Buya Syafii, merasa memiliki tanggungjawab besar untuk menularkan dan menyebarluaskan pandangan kritis Buya Syafii.
Program Sekolah Pemikiran Maarifyang akan digelar sampai Juli 2018 ditujukan untuk para mahasiswa S1 akhir, yang sudah lulus S1 sampai yang hendak menyusun tesis S2 dari seluruh pelosok Indonesia. Untuk mengikutinya, para calon siswa yang tertarik harus membuat esai mengenai tema-tema yang telah ditentukan dengan mencantumkan sejumlah sumber bacaan minimal lima buku karya Buya Syafii.
Sepuluh sampai lima belas siswa yang terpilih akan dikarantina secara khusus selama 10 hari untuk kegiatan short course. Selain itu, setiap peserta yang terpilih akan didampingi oleh dua sampai tiga fasilitator.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus Dewan Pembina Maarif Institute, Prof Amin Abdullah saat memberi pidato kunci menyampaikan, ada dua kata kunci untuk memahami horizon pemikiran Islam dari Buya Syafii. Yaitu bagaimana umat Islam memperlakukan Alquran sebagai kitab suci yang bermuatan pedoman etika sosial dan pentingnya Ilmu pengetahuan bagi umat Islam.
"Ungkapan yang biasa digunakan Buya Syafii adalah mari kita berdialog dengan Alquran dan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu," ujarnya.
Menurutnya, dua untaian kata tersebut yang coba diramu ulang dari gurunya Fazlur Rahman sewaktu mengambil program PhD di Chicago pada tahun 1970-1980-an. Hal ini telah mengubah jalan pikiran dan pandangan hidup Buya Syafii dari yang semula agak maududian ke rahmanian.
Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam kontemporer pendekatan pembaharuan metode tafsir dan hukum Islam, dikatakan Prof Amin, yang tampak pada sosok dan figur intelektual Buya Syafii merupakan perspektif teoritik dari kedua intelektual Muslim kontemporer. Yakni Abdullah Saeed dan Jasser Auda, bercorak progressif ijtihadi.
"Buya (Syafii) tidak meninggalkan nash Alquran, tapi sebaliknya, justru nash Alquran lah yang menjadi partner dialognya dan inspirator utamanya lewat tafsir tematik yang terilhami dari gurunya Fazlur Rahman," jelasnya.
Sedang gerakan Ilmu yang Buya Syafii impikan, lanjut Amin, rasanya masih jauh dari kenyataan. Sebab, syarat-syarat metodologis dan kelembagaan pendidikan agama dan pendidikan Islam di Tanah Air masih belum mendukung tercapainya impian itu.