REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pembentukan Badan Riset Nasional (BRN) kembali disebut dalam debat antar-calon wakil presiden (Cawapres) Pilpres pada Ahad (17/3). Sebelum disampaikan oleh Cawapres nomor urut 01, Maruf Amin, ide pembentukan BRN sebelumnya sudah sempat dilontarkan oleh Capres 01, Joko Widodo, sekaligus sebagai pejawat.
Pasangan kandidat 01 memandang bahwa pembentukan BRN harus dilakukan untuk mengoordinasi lembaga dan instansi yang sebelumnya 'jalan sendiri-sendiri' dalam melakukan riset.
Namun, ide itu disanggah oleh kubu seberang. Cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno, melihat bahwa pembentukan BRN justru menambah beban birokrasi dan tidak menjawab tantangan riset yang sebetulnya yakni koneksi antara riset dengan industri. Prabowo-Sandi juga ingin memberikan insentif bagi badan usaha dan industri yang berkomitmen melakukan investasi di bidang riset. Insentif yang diberikan pun, ujar Sandi, bisa dalam bentuk insentif fiskal atau nonfiskal.
Lantas sejauh mana urgensi pembentukan BRN? Republika.co.id mencoba membedahnya bersama para peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Peneliti Indef, Hanif Muhammad, memandang bahwa koordinasi tentang riset memang menyumbang 'biaya termahal' dalam mendorong perkembangan riset Tanah Air. Ia menyampaikan pengalamannya dalam melakukan riset pada 2017 tentang program Nawacita 100 Science and Techno Park (STP) di seluruh Indonesia yang digagas pemerintahan saat ini. Program ini bertujuan mendirikan pusat kolaborasi riset antara pemerintah, kampus, dan dunia usaha di 100 titik di Indonesia.
"Ternyata koordinasi di tingkat nasional sangat berantakan. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mundur dari program ini karena tidak sesuai dengan rencana strategis mereka dalam mengembangkan balai-balai yang sudah ada," ujar Hanif dalam diskusi daring yang digelar Ahad (17/3) malam.
Buah dari ketidakselarasan koordinasi, ujar Hanif, juga dialami Kementerian Pertanian yang hanya menyanggupi pendirian 1 unit STP, dari target awalnya 43 unit STP. Tak hanya itu, Hanif juga melihat koordinasi di daerah juga buruk, terlihat dari tak sedikit daerah yang menolak penerapan STP karena tak sejalan dengan RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah).
"Tidak dapat dipungkiri memang kolaborasi pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha penting didorong agar perguruan tinggi tidak asik dengan riset temuan tanpa dukungan difusinya. Sedangkan industri kesulitan karena biaya riset yang mahal, dan pemerintah buang anggaran riset yang tidak tepat sasaran," katanya.
Hanif menjelaskan, yang terpenting dilakukan pemerintah memang mengkoordinasikan seluruh elemen dalam riset, termasuk dalam lingkaran pemerintah, akademik dan dunia usaha, maupun dalam lingkaran antarlembaga yang mengurusi riset. Hanif lalu memberi contoh bentuk simplifikasi yang telah dilakukan dalam bidang bantuan pendidikan. Dulu, kata dia, beasiswa ditangani oleh Kemenristekdikti. Namun sekarang, beasiswa ditangani oleh Badan Layanan Umum (BLU) berupa LPDP.
"Sejak LPDP kemudahan melanjutkan S2 naik signifikan. Begitu pula dengan riset. Sebelum masuk BRN dipastikan dulu ada dana abadi riset yang dikelola BLU. Dengan birokrasi yang lebih mudah," kata Hanif.
Hanif memandang, sebelum pemerintah beranjak jauh kepada pembentukan BRN, seharusnya dipastikan dulu penyediaan dana abadi riset. Dana ini, menurutnya, harus dikelola oleh BLU yang punya kewenangan sendiri mengatur 'uangnya' untuk pengembangan riset. Bagi dia, apapun bentuk koordinasi yang nantinya akan dilakukan, kunci untuk memajukan riset di Tanah Air adalah 'koordinasi'.
Sementara itu peneliti Indef lainnya, Ahmad Heri Firdaus, menyebutkan bahwa anggaran riset di Indonesia masih terbilang rendah. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2017, porsi dana riset di Indonesia hanya 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh di bawah porsi yang disediakan Korea untuk riset, yakni 4,04 persen dari PDB-nya, Jepang 3,4 pesen dari PDB, atau Malaysia 1,1 persen dari PDB.
"Untuk meningkatkan anggaran riset, perlu kerja sama dengan dunia usaha atau investor, tapi pemerintah harus bikin regulasi yang nyaman agar dunia usaha atau investor mau berperan lebih banyak dalam meningkatkan anggaran riset," kata Ahmad.
Pemerintah, menurut Ahmad, sulit mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk riset bila postur APBN masih dalam kondisi saat ini. Menanggapi pembentukan BRN, Ahmad mengingatkan bahwa sebetulnya di Indonesia sudah ada banyak lembaga yang mewadahi riset yakni LIPI, Ristek Dikti, dan BPPT.
"Yang diperlukan adalah koordinasi agar lebih sinergi," katanya.