REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terorisme tidak berakhir dengan berakhirnya masa pendudukan. Aksi itu terus terjadi di berbagai kawasan untuk menyikapi berbagai keadaan dan mencapai tujuan.
Sesudah Perang Dingin, terorisme menjadi pilihan taktis para pemimpin politik dan kelompok revolusioner. Cara yang dilakukan beragam, mulai dari pembunuhan polisi atau pejabat, penyanderaan, pembajakan pesawat, hingga pengeboman.
Warga sipil sering kali turut menjadi sasaran. "Dalam beberapa kasus, pemerintah juga terlibat mendukung terorisme dengan perpanjangan tangan," kata Roberts. Pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah bentuk lain terorisme yang masih terus berlangsung.
Selain Zealot, Assasin, dan kelompok revolusioner, istilah teroris juga kerap digunakan untuk menyebut Thugee, sebuah kelompok teroris Hindu yang muncul pada 1356.
Aksi mereka berlangsung lebih dari empat abad dan didorong oleh motivasi religius. Mereka membunuh korban dengan cara mencekik, membakar jasadnya, kemudian merampok benda-benda berharga.
Selanjutnya, ada pula kelompok teroris dari kalangan kaum fasis dan komunis. Misalnya, kelompok the Black Hundred di Rusia pada masa Perang Dunia I. Dulu, Kerajaan Inggris juga menyebut kelompok revolusioner AS sebagai teroris. Pada akhir abad ke-19 dan 20, sejarah mencatat terorisme sering kali dijadikan teknik perjuangan.
TP Thomton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation mengungkapkan, terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori. Ada enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas kelompok yang mengancam kekuasaan mereka, ada pula agitational terror yang dilakukan guna mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menciptakan tatanan politik tertentu. Terorisme berputar-putar di sekitar ideologi, fanatisme, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, dan cara pemerintah menegakkan kekuasaan.