REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan tata cara pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Hal ini terkait dengan paskagempa bumi tsunami di wilayah Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.
Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan ada beberapa ketentuan tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Janaiz) dalam kondisi darurat. Antara lain pertama, dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, menurut tata cara yang telah ditentukan menurut syari’at Islam.
“Kedua, dalam keadaan darurat di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syari’at seperti di atas,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/10).
Pengurusan jenazah dalam keadaan darurat itu tentu saja berbeda dengan mengurus jenazah dalam kondisi normal. Berikut ini tata caranya seperti disampaikan Zainut.
Pertama, memandikan dan mengkafani. Jenazah boleh tidak dimandikan, tetapi, apabila memungkinkan sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Kemudian pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah yang bersangkutan walaupun terkena najis.
Selanjutnya, menshalatkan mayat. Mayat boleh dishalati sesudah dikuburkan walaupun dari jarak jauh (shalat ghaib), dan boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu’tamad (pendapat yang kuat).
Langkah ketiga, menguburkan jenazah. Jenazah korban wajib segera dikuburkan. Jenazah boleh dikuburkan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas, baik dalam satu atau beberapa liang kubur, dan tidak harus dihadapkan ke arah kiblat. Penguburan secara massal tersebut boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Selain kitu, juga boleh antara muslim dan non-muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan.