REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018 kembali meluncurkan hasil survei berjudul Pelita yang Meredup: Potret Keberagamaan Guru Indonesia.
Survei ini merupakan survei lanjutan dari survei sebelumnya, api dalam sekam yang menunjukkan bahwa guru memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi tingkat intoleransi siswa.
Koordinator survei nasional Dr Yunita Faela Nisa Psi menjelaskan, motivasi survei ini disebabkan maraknya kecenderungan sikap intoleran dan radikalisme agama.
Fenomena lain, kata Yunita juga menindaklanjuti sikap siswa yang tidak hanya mendiskusikan masalah keagamaan kepada guru agama tapi juga guru mata pelajaran lain.
“Ini tidak hanya terjadi pada siswa sekolah menengah, tapi juga terjadi pada level pendidikan paling dini sekalipun,” ujar Yunita saat menyampaikan hasil survei PPIM 2018 di Jakarta, Selasa (16/10).
Yunita menjelaskan, sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah 2.237 guru Muslim dari 767 kabupaten kota seluruh Indonesia yang dipilih secara acak (random).
Adapun konsep yang digunakan, pertama, religious intolerance atau ketidaksediaan untuk mempersilahkan pemeluk agama lain mengekspresikan ide atau kepentingan yang berbeda.
Kedua, radikalisasi yang mengacu pada adopsi pandangan kelompok ekstrimis untuk memperngaruhi perubahan pandangan sosial atau politik, serta menggunakan cara uang menolak prosip demokratis.
“Terakhir, pandangan islamis yang mengacu pada pandangan Islam absolut yang cenderung tertutup dan eksklusif,” lanjut Yunita
Peneliti Senior UGM yang juga berkontribusi dalam survei, Saiful Umam PhD menjelaskan, penelitian metode kuntitatif dengan alat ukur Implict Association Test (IAT) dan kuesioner ini, menekankan pada persoalan toleransi beragama di Indonesia, mulai dari kebebasan beragama, hingga hubungan antarkelompok beda agama. Penelitian ini, kata Saiful juga menggali persepsi tentang islamisme atau hubungan antara agama dan negara.
“Penelitian ini menunjukkan 63.07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain,” jelas Saiful.
Bukan hanya opini, kata dia, survei ini juga melacak intensi aksi intoleran para guru Muslim seluruh Indoensia. Dimana ditemukan bahwa meski opini intoleran cukup tinggi, namun keinginan untuk melakukan aksi masih cukup kecil.
Selain mengukur opini dan aksi intoleran guru Muslim, tim survei PPIM UIN Jakarta juga meneliti faktor yang memiliki keterkaitan dengan kemunculan intoleransi dan radikalisme guru.
Antara lain, pandangan islamis yang mengacu pada pemahaman islamis-radikal yang menjadikan syariat Islam sebagai referensi utama dalam semua aspek kehidupan.
“Contoh hasil survei menyatakan, 82.77 persen guru setuju bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat,” ungkap Saiful.
Selain itu, tinjauan dari aspek demografis juga cukup mengejutkan, dimana guru perempuan memiliki opini dan intensi-aksi radikal dan intoleran lebih tinggi dibandingkan guru laki-laki.
Selain itu, guru madrasah juga dinyatakan lebih intoleran dibandingkan guru sekolah umum. Bukan hanya itu, guru sekolah swasta juga terbukti lebih intoleran dibandingkan guru di sekolah-sekolah negeri.
“Guru berpenghasilan rendah (di bawah satu juta rupiah), dan guru muda (biasanya mengajar TK/RA) juga memiliki opini dan intensi-aksi radikal yang lebih tinggi,” lanjut Saiful.
Saiful mengingatkan, banyak hal yang diturunkan dari guru yang ditelan bulat bulat oleh murid tanpa dikaji terlebih dahulu sehingga tertanam hingga dia dewasa.
"Dengan pemikiran itu maka perlu adanya perjumpaan antara orang orang dengan latar belakang dan agama berbeda untuk membangun kebinekaan,” tambah Saiful.