Rabu 07 Nov 2018 09:19 WIB

Erdogan 'Ogah' Patuhi Sanksi AS ke Iran

Erdogan menilai langkah sanksi AS ke Iran hanya akan memicu gejolak.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Presidential Press Service via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Turki tidak akan mematuhi sanksi baru Amerika Serikat (AS) terhadap industri minyak dan pelayaran Iran. Menurutnya, AS hanya bertujuan membuat dunia menjadi tidak seimbang.

Erdogan pun mengutuk sanksi tersebut. Menurutnya, sanksi itu adalah langkah-langkah yang ditujukan untuk membuat dunia kisruh.

"Kami benar-benar tidak akan mematuhi sanksi tersebut. Kami membeli 10 miliar meter kubik gas alam. Kita tidak bisa membekukan orang-orang kita di udara dingin," ujar Erdogan pada Selasa (6/11), seperti dikutip Reuters.

Anggota NATO, Turki, sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan energi dlaam. Iran yang merupakan negara tetangga Turki menjadi salah satu pemasok utama minyak. Sebab, kedekatan negara serta kualitas perbedaan harga minyak mentah yang menguntungkan.

Erdogan dijadwalkan akan menghadiri pertemuan puncak untuk memperingati akhir Perang Dunia I di Paris pada akhir pekan. Diperkirakan, Presiden Turki tersebut akan melakukan pembicaraan dengan Trump mengenai masalah-masalah kenegaraan, termasuk sanksi dan kebijakan baru di Suriah.

Baca juga, Sanksi Iran Dinilai Kesalahan Strategis AS.

Sementara, juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, menyebutkan, Turki akan mengevaluasi perkembangan sanksi ini. "Kami tidak akan meninggalkan kepentingan kami hanya karena AS memberlakukan sanksi Iran," ujar Kalin kepada penyiar Haberturk pada Selasa malam. "Kami akan mengevaluasi periode enam bulan, tetapi kami tidak akan mengompromikan prinsip-prinsip kami di sini," tambah dia.

Menteri Luar Negeri Turki Melvut Cavusoglu mengatakan, akan berbahaya untuk mengisolasi Iran dengan mematuhi sanksi AS. Menurutnya, tidak mudah terlebih bagi negara-negara, seperti Turki dan Jepang untuk melakukan diversifikasi pasokan energi.

"Kami tidak percaya ada hasil yang dicapai dengan sanksi. Saya pikir, dialog dan pembicaraan bermakna akan lebih bermanfaat ketimbang sanksi," ujar Cavusoglu saat kunjungannya ke Jepang pada Selasa (6/11).

AS pada Senin kemarin kembali memberlakukan sanksi. Presiden AS Donald Trump menepati janjinya menerapkan sanksi perekonomian untuk Iran. Sanksi tersebut diterapkan setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir damai dengan Iran bersama sejumlah negara lainnya, seperi Britania, Cina, Prancis, Rusia, dan Jerman.

Kendati begitu, AS tetap memberikan kelonggaran sementara ke beberapa pelanggan utama Iran, seperti Turki untuk terus membeli minyak mentah Iran.

Trump memiliki tujuan memukul ekonomi Iran dan memaksa Teheran meninggalkan ambisi nuklir dan program rudal balistik. Selain itu, alasan Turmp sebagai upaya menghentikan dukungan untuk proksi militan di Suriah, Yaman, Lebanon, dan bagian lain di Timur Tengah.

Trump sebelumnya yakin bahwa Iran akan mulai kesulitan dengan sanksi yang ia terapkan. Menurut Trump, sanksi AS sangatlah kuat. "Kami akan lihat apa yang akan terjadi dengan Iran. Bisa saya katakan kepada Anda bahwa Iran tidak dalam keadaan baik," ujar Trump, Senin lalu.

Beberapa pihak yang turut menandatangani kesepakatan nuklir Iran pada 2015 adalah Inggris, Prancis, Jerman, Cina dan Rusia. Mereka mengatakan, tidak akan keluar dari kesepakatan tersebut seperti AS.

Iran pun mengatakan, akan membalas apa yang dilakukan AS terhadap mereka. Kepala komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Mohammad Ali Jaari, mengatakan, Iran akan memberikan perlawanan terhadap sanksi yang diberikan AS. Menurut Jafari, sanksi di sektor perminyakan ini merupakan perang psikologis. "Perbuatan AS menyoal sanksi ini akan dikalahkan melalui perlawanan yang terus dilakukan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement