REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang yang mempelajari agama secara radikal atau secara mendalam bukan suatu kesalahan. Namun, ketika sesuatu yang radikal tersebut diwujudkan dalam bentuk pemaksaan kehendak dengan cara ekstrem, maka harus segera ditangkal bersama-sama untuk menyelamatkan negara dari kekacauan.
Di Indonesia radikalisme dan ekstremisme dinilai sudah semakin berkembang. Bahkan, paham ini mulai menyasar generasi muda atau yang sekarang disebut generasi millenial. Hal inilah yang menjadi salah satu pembahasan dalam kegiatan Regional Workshop bertema tentang pendidikan agama dan pencegahan ekstremisme.
Kegiatan tersebut diikuti 300 peserta dari kalangan akademisi, peniliti, dan perwakilan pemerintah dari beberapa negara di Asia Tenggara. Salah satu pembicara, Bianca J Smith dalam paparannya menjelaskan tentang peran tasawuf dalam menangkal ekstremisme. "Saya mau membahas tentang peran sufisme atau tasawuf dalam menangkal ekstremisme," ujar Bianca saat menjadi pembicara regional workshop di Ayana Midplaza Hotel Jakarta, Rabu (21/11).
Peneliti senior dari Universitas Monash Australia ini mengatakan, untuk menangkal ekstremisme dan radikalisme tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan ajaran tasawuf. Karena, menurut dia, tasawuf mengajarkan tentang cinta. "Tasawuf itu dalam bentuk cinta dan bisa mengubah orang yang terpapar radikalisme dan ekstremisme," ujar Bianca saat berbincang dengan Republika.co.id.
Namun, menurut dia, di Indonesia masih sedikit yang mempraktikkan ajaran tasawuf tersebut dalam kehidupan sehari-hari, termasuk umat yang menjadi pengikut tarekat sekalipun. "Pertanyaannya, apakah tarekat-tarekat di Indonesia mengajarkan cinta dalam praktiknya? Karena praktiknya itu beda, apakah masuk di hati apa tidak?" kata Bianca.
Muslimah yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia ini mengungkapkan, tidak sedikit orang yang terpapar radikalisme atau ekstremisme yang kemudian sadar karena mengenal tasawuf. Menurut dia, pemahaman mereka banyak yang berubah karena mengenal cinta yang sejati kepada Allah.
"Karena kalau dia paham tentang cinta terhadap Allah, maka mereka sadar harus mencintai ciptaan Allah, sehingga tidak melakukan hal-hal yang intoleran," jelas pengikut salah satu tarekat ini.
Karena itu, menurut dia, ajaran tasawuf tersebut bisa diterapkan dalam pendidikan keagamaan di Indonesia, sehingga generasi muda terselamatkan dari radikalisme dan ekstremisme. Hal senada juga disampaikan Guru Besar UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Jamhari Makruf.
Menurut Jamhari, kegiatan workshop yang digelar Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Convey Indonesia tersebut memang fokus membahas tentang bagaimana agar generasi millenial tidak terpapar radikalisme dan ekstremisme. "Penangkalan radikalisme dan ekstremisme itu memang kita fokuskan kepada generasi millenial melalui pendidikan keagamaan," ujar peneliti PPIM tersebut.
Jamhari pun menyambut baik usulan dari Bianca J Smith untuk memperkuat ajaran tasawuf dalam pendidikan keagamaan di Indonesia. Walaupun, menurut dia, sebenarnya di lembaga keagamaan seperti pesantren sudah mengajarkan tentang tasawuf.
"Salah satu yang diusulkan tadi adalah bagaimana tasawuf menjadi bagian dari pendiidikan Islam, yang mengajarkan cinta. Yang dia (Bianca, Red) rasa itu kurang di Indonesia," katanya.
Namun, menurut dia, di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya sudah menerapkan ajaran tasawuf. Sehingga generasi muda tidak terpapar radikalisme dan ekstremisme. Di pesantren itu, kata dia, para santri diajarkan fikih dan tasawuf agar memiliki pemahaman yang seimbang.
"Jadi menggabungkan antara pemahaman otak dengan perilaku hati. Sementara, kelompok-kelompok yang radikal itu kebanyakan mereka hanya kepada pemahaman yang sangat tekstual dan melupakan pemahaman-pemahaman yang sifatnya bathiniyah," jelasnya.