REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Sankore mencapai puncak kemajuan saat Mansa Musa berkuasa pada 1307 hingga 1332 Masehi. Kemajuan terus berlanjut saat Dinasti Askia memegang tampuk kekuasaan pada 1493 hingga 1591 Masehi. Mereka membangun perpustakaan dengan koleksi buku yang berlimpah.
Tak heran jika kemudian, perpustakaan Universitas Sankore mempunyai koleksi buku terbesar kedua di Afrika setelah Perpustakaan Alexandria. Perpustakaan Universitas Sankore dipenuhi oleh 400 ribu hingga 700 ribu naskah buku.
Dalam praktiknya, Universitas Sankore tak memiliki pusat administrasi. Namun, terdiri atas beberapa lembaga independen, masing-masing diajar oleh seorang cendekiawan atau profesor. Proses belajar mengajar berlangsung secara terbuka di pelataran masjid.
Belajar juga dilakukan di beberapa rumah pribadi. Mata kuliah utama yang diajarkan adalah studi Alquran, Islam, hukum, sastra, obat-obatan, pembedahan dan operasi, astronomi, matematika, geometri, fisika, kimia, filsafat, bahasa, geografi, sejarah, dan seni.
Para mahasiswa mempelajari pula etika bisnis dan perdagangan. Di sisi lain, universitas membuka kelas pertukangan, pertanian, perikanan, konstruksi, pembuatan sepatu, menjahit, dan navigasi. Semua mahasiswa bebas memilih kelas yang mereka minati.
Mengutip laman Muslimheritage, kebebasan intelektual yang muncul di universitas-universitas di Barat terinsipirasi dari kebebasan yang diberikan di universitas, seperti di Sankore ataupun Qurtuba, Spanyol Muslim.
Terlepas dari mata kuliah yang diambil para mahasiswa, setiap mahasiswa di Universitas Sankore wajib menghafal Alquran dan menguasai bahasa Arab. Selain itu, bahasa Arab juga digunakan di Timbuktu sebagai bahasa komunikasi dalam perdagangan.
Baca: Universitas Sankore Simbol Kemajuan Afrika Barat
Pencapaian gelar tertinggi setingkat PhD, ditempuh para mahasiswa dalam kurun waktu 10 tahun. Saat upacara kelulusan atau wisuda, para sarjana harus mengenakan serban yang merepresentasikan nama Allah dan melambangkan cahaya Ilahi, kebijaksanaan, pengetahuan, dan moral baik.
Para sarjana dituntut untuk berperilaku baik demi menjaga nilai-nilai dan pendidikan Islam. Seusai menerima ijazah, mereka berkumpul di luar gedung atau kampus dan melemparkan serban mereka tinggi-tinggi ke udara.
Mereka bersorak-sorai sambil saling berpegangan tangan satu sama lain untuk menunjukkan bahwa mereka semua adalah saudara. Mereka terus mempertahankan tali persaudaraan sejak menuntut ilmu di universitas tersebut.
Seperti semua universitas Islam lainnya, para mahasiswa di Universitas Sankore datang dari seluruh penjuru dunia. Pada abad ke-12, universitas tersebut menampung 25 ribu mahasiswa. Jumlah penduduk kota sendiri sebanyak 100 ribu jiwa.
Universitas ini juga dikenal memiliki syarat ketat dalam menerima mahasiswa. Tak heran jika universitas ini menghasilkan para sarjana kelas dunia. Seorang penulis Prancis, Felix Dubois, dalam bukunya yang berjudul Timbuctoo the Mysterious, memberikan pujiannya.
Menurut Dubois, sarjana yang merupakan lulusan Sankore bisa disejajarkan dengan mereka yang berasal dari universitas lainnya baik dari Kairo, Fez, maupun Tunisis. Bahkan, orang Arab, kata dia, tak selalu bisa masuk Universitas Sankore.