REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bambang Noroyono
Apa yang ditanam itulah yang didapat. Begitu kira-kira ungkapan bagi sepak bola Indonesia saat ini. Yang terjadi dua tahun lalu baru dirasakan sekarang. Ketika negara-negara Asia sedang berpesta di gelaran Piala AFC 2019, timnas Indonesia merana jadi penonton akibat pembekuan dua tahun lalu.
Sejak akhir pekan lalu, Sabtu (5/1), mata Asia tertuju ke Uni Emirates Arab (UEA). Di negara itu sedang berkumpul 24 timnas terbaik Asia mengikuti kompetisi tertinggi antarnegara Benua Kuning. Asia Tenggara diwakili Thailand, Filipina, dan Vietnam. Sementara sepak bola dari negara tetangga itu sudah menampakkan tajinya di kawasan Asia, sepak bola Indonesia seperti masih mati suri.
Alih-alih menampakkan prestasi, sepak bola Indonesia saat ini, pun masih asik mewarnai diri dengan banyaknya skandal dan aksi culas kompetisi dalam negeri. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Bola oleh Mabes Polri, menunjukkan kualitas berkudis sepak bola di dalam negeri. Makin kentara boroknya sepak bola Indonesia, dengan tertangkapnya para terduga mafia yang berasal dari anggota kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Ironi memang. Apalagi menengok sejumlah negara peserta lainnya di gelaran Piala AFC tahun ini. Negara-negara porak poranda akibat perang sipil seperti Suriah saja tampak lebih mampu memajukan kiprah timnasnya di level kawasan. Bahkan Palestina, yang saban hari warganya dihantui invansi militer zionis, juga sanggup tampil di Piala AFC. Begitu juga Korea Utara (Korut) yang selama ini menjadi negara autis.
Salah memang menjadikan pengungkapan banyak kasus suap menyuap di kompetisi nasional saat ini sebagai musabab Indonesia tak tampil di Piala AFC. Karena kondisi sepak bola Indonesia saat ini memang tak ada hubungannya, dengan absennya timnas Garuda di Piala AFC. Akan tetapi, tak salah menilai carut marut pengelolaan sepak bola Indonesia berdampak panjang dan permanen.
Absennya timnas Indonesia di gelanggang AFC 2019, akibat kesalahan dua tahun lalu. Persinya pada 2015, ketika PSSI kisruh dengan Kemenpora. Kemenpora membekukan PSSI. Pembekuan oleh pemerintah tersebut membuat FIFA menanggalkan status keanggotaan Indonesia di federasi dunia lan. FIFA menganggap pembekuan PSSI tersebut, intervensi pemerintah yang dilarang menurut Statuta induk organisasi sepak bola dunia (FIFA).
Akibatnya Indonesia dilarang mengikuti semua kegiatan sepak bola yang menjadi kalender FIFA. Pembekuan 2015 ternyata berdampak panjang. Pada 2016, timnas Indonesia tak bisa ikut kualifikasi Piala AFC lantaran sanksi FIFA. Tak ikut kualifikasi, dirasakan saat ini dengan absennya Indonesia di Piala AFC. Pencabutan pembekuan PSSI oleh Kemenpora dan rehabilitasi dari FIFA pertengahan 2016, tak menjadi obat bagi Indonesia bisa menyusul kualifikasi.
Absennya timnas Indonesia di Piala AFC tahun ini pun sebetulnya bukan yang pertama. Sewindu lalu, pada Piala AFC 2011 di Qatar, Indonesia juga absen lantaran kandas saat kualifikasi. Kegagalan serupa pada Piala AFC 2015 di Australia. Cuma empat kali Indonesia mampu tampil di level Asia. Pada Piala AFC 1996 di UEA, dan 2000 di Lebanon, dan 2004 di Cina.
Terakhir kali Garuda tampil saat Piala AFC 2007. Namun rangkaian partisipasi Indonesia di gelaran Piala AFC itu, pun tak mampu menghasilkan prestasi. Cuma sekadar tampil, dan pulang dengan kepala tertunduk. Jika di level Asia, timnas Indonesia memang tak pernah mampu bersaing, di level Asia Tenggara, pun terbukti skuat Garuda tampak kuyu.
Lepas pembekuan PSSI pada 2016, timnas Indonesia cuma berhasil meraih peringkat kedua di Piala AFF 2016. Harapan untuk pertama kali meraih gelar paling bergengsi di Asia Tenggara, pun kandas saat Piala AFF 2018. Bahkan lebih buruk karena tak lolos fase grup. Satu-satunya gelar milik Indonesia, malah diraih Garuda U-16 saat berhasil menyabet juara Piala AFF U-16 2018.
Mantan pelatih timnas Indonesia Bima Sakti Tukiman, usai kegagalannya di Piala AFF tahun lalu, pernah menyampaikan, optimisme terhadap sepak bola nasional memang masih ada. Tetapi akan punah jika tak ada keseriusan dari semua pihak untuk sama-sama memajukan dan menyehatkan sepak bola Indonesia.
“Tidak ada yang instan dalam prestasi sepak bola. Apa yang dikerjakan hari ini, dampaknya baru akan terasa di masa yang akan mendatang,” ujar dia.
Karena itu, semua yang terlibat dalam sepak bola Indonesia, mulai dari pemerintah, federasi, pemain, dan masyakarat, harus punya satu misi yang sama sejak awal. Yaitu, memastikan kebijakan, pembinaan, dan kompetisi, dan dukungan sebagai modal untuk membawa skuat Merah Putih ke gelanggang dunia.