Selasa 12 Feb 2019 15:57 WIB

McKinsey: Indonesia Negara Tercepat dalam Adopsi Digital

Penggunaan ponsel pintar naik dari 33 persen pada 2014 menjadi 57 persen pada 2017.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Smartphone/ponsel yang digunakan remaja. Ilustrasi
Foto: LA Times
Smartphone/ponsel yang digunakan remaja. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey & Company menemukan, Indonesia merupakan salah satu negara tercepat yang melakukan adopsi digital. Fakta ini didapatkan melalu riset yang telah dilakukan kepada 17 ribu orang di 15 negara dan dipublikasikan dalam laporan berjudul Digital Banking in Indonesia: Building Loyalty and Generating Growth.

Partner Indonesia McKinsey & Company, Guillaume de Gantes, mengatakan, kecepatan adopsi digital Indonesia bahkan melampaui negara di sekitarnya seperti Korea Selatan dan India. "Bahkan, melewati Brazil dan Cina," tuturnya saat konferensi pers di Kantor McKinsey & Company, Jakarta, Senin (11/2).

Di samping pertumbuhan adopsi digital yang cepat, Indonesia mengalami pergeseran cara dalam mengonsumsi konten digital. Dari yang biasanya hanya memiliki satu produk, kini masyarakat memilih untuk mempunyai dua hingga tiga produk layanan keuangan. Kondisi ini khususnya terjadi di daerah perkotaan.

Keunggulan juga dimiliki Indonesia dari segi pertumbuhan internet banking. Pada 2017, pertumbuhan penggunanya mencapai 35 persen atau naik sekitar 1,7 kali lipat dibanding dengan 2014. Sedangkan, rata-rata pertumbuhan di Asia hanya mencapai satu kali lipat. "Ini angka yang luar biasa," kata Guillaume.

Begitupun dengan penggunaan ponsel pintar yang naik dari 33 persen pada 2014 menjadi 57 persen pada 2017. Pertumbuhan tersebut membuat Indonesia lebih unggul dibanding dengan pengguna di Asia yang hanya tumbuh 1,1 kali lipat.

Guillaume menambahkan, pengguna internet merupakan target pasar yang potensial bagi perbankan. Sebab, mereka yang aktif secara digital cenderung lebih banyak membeli produk perbankan dibanding kelompok lain. "Populasi yang aktif digital membeli produk perbankan dua kali dalam setahun, sedangkan yang kurang aktif hanya 1,5 kali setahun," ujarnya.

Menurut data dari McKinsey, penetrasi layanan keuangan digital selain bank seperti layanan financial technology (fintech) pada 2017 masih berada di tingkat lima persen. Angka tersebut dapat naik hingga tiga kali lipat pada tahun ini seiring dengan adopsi digital yang terus menunjukkan performa baik di Indonesia.

Pertumbuhan fintech di Indonesia sendiri banyak didukung oleh layanan pembayaran seperti Gopay, Ovo dan sebagainya. Terutama untuk menjangkau masyarakat sampai ke daerah pelosok. Aplikasi ride hailing (bisnis transportasi berbasis teknologi) dan ecommerce turut memberikan pengaruh pada pertumbuhan ini.

Partner Indonesia McKinsey & Company Bruce Delteil menyebutkan, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat penetrasi layanan keuangan non perbankan di tiap negara. Pertama, tingkat penetrasi digital. Kedua, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap uang tunai. "Di Indonesia, banyak yang masih nyaman menggunakan uang tunai," ucapnya.

Faktor terakhir adalah proporsi produk digital yang tersedia. Dengan ketiga faktor ini, Bruce menyebutkan, tingkat penetrasi layanan keuangan nonperbankan di negara dapat berbeda. Sementara di Indonesia masih lima persen pada 2017, Singapura telah mencapai 48 persen di periode yang sama.

Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Mercy Simorangkir mengakui, tantangan terbesar pengambangan layanan digital nonperbankan, termasuk fintech, adalah sumber daya manusia (SDM). Meski tidak menyebut jumlah kebutuhannya, ia menilai bahwa SDM digital di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan perkembangan industri fintech yang pesat.

Menurut Mercy, pertumbuhan industri fintech akan terus melaju cepat. Khususnya, di bidang pinjaman (peer to peer lending) yang pertumbuhannya mencapai 400 persen pada tahun lalu. Sementara itu, pada bidang transaksi pembayaran (payment), pertumbuhannya sekitar 281 persen sejak 2017 hingga 2018.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Mercy menjelaskan, asosiasi dan pemerintah telah berupaya mencari solusi. Ia juga berharap, pemerintah dapat memfasilitasi perkembangan fintech dengan menyediakan infrastruktur yang memadai. "Di antaranya, jaringan internet yang mampu memfasiltiasi perkembangan fintech," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement