REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pada masa ini, Rasyid Ridha ingin menulis suatu kitab tafsir Alquran yang kontekstual dalam menjawab pelbagai tantangan zaman modern. Dia mendiskusikan keinginannya itu kepada gurunya.
Muhammad Abduh diketahui belum pernah secara khusus menulis sebuah kitab tafsir Alquran. Meskipun begitu, Rasyid Ridha begitu tertarik pada metode tafsir Alquran yang diajarkan gurunya itu di kuliah-kuliah di Universitas al-Azhar (Mesir).
Rasyid Ridha selalu menghadiri rangkaian kuliah itu yang bermula sejak 1899. Catatan-catatan kuliahnya lantas ditunjukkannya kepada Muhammad Abduh untuk dikoreksi dan ditambahkan beberapa komentar.
Hasil dari koreksi dan penambahan ini kemudian disusun dan diterbitkan secara berseri pada majalah Al-Manar. Cara ini terus berlanjut sampai pada pembahasan soal ayat 125 surah An-Nisa.
Setelah ayat tersebut sampai akhir Alquran, Rasyid Ridha-lah yang menulis tafsirnya. Bagaimanapun, korespondensi dengan gurunya itu tetap berlangsung. Himpunan utuh tafsir Alquran itu kelak dinamakan kitab Al-Manar.
Meskipun Rasyid Ridha mengikuti metodenya Muhammad Abduh, ada pula perbedaan tafsiran di antara keduanya mengenai sejumlah ayat Alquran. Misalnya tentang ayat ke-25 dari surah al-Baqarah yang membahas balasan Allah atas orang-orang yang beriman.
Dalam perspektif Abduh, balasan itu lebih berupa aspek rohani. Sementara itu, bagi Rasyid Ridha, balasan yang sama lebih menekankan aspek jasmani.
Beberapa sumber menyebutkan, alasan perbedaan sejumlah hasil tafsiran ini lantaran Rasyid Ridha masih berpegang pada mazhab Salaf, khususnya Imam Hanbali. Dengan begitu, dia menolak takwil untuk ayat-ayat yang literal (mujassimah).
Adapun Abduh cenderung menggunakan pemikiran bebas sehingga tidak terikat dalam suatu mazhab.
Pada 1912, Rasyid Ridha mendirikan lembaga pendidikan Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyad. Tujuan awalnya adalah untuk menandingi gelombang kristenisasi yang dilakukan para misionaris di tengah masyarakat Muslim.
Bagi Rasyid Ridha, membangun sekolah jauh lebih utama ketimbang membangun masjid. Penegasan ini mencerminkan sikap progresif Rasyid Ridha yang bersemangat dalam menghalau sikap jumud di tengah umat Islam.
Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (6)