Jumat 22 Feb 2019 06:56 WIB

Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (5)

Rasyid Ridha berinisiatif menulis kitab tafsir

(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pada masa ini, Rasyid Ridha ingin menulis suatu kitab tafsir Alquran yang kontekstual dalam menjawab pelbagai tantangan zaman modern. Dia mendiskusikan keinginannya itu kepada gurunya.

Muhammad Abduh diketahui belum pernah secara khusus menulis sebuah kitab tafsir Alquran. Meskipun begitu, Rasyid Ridha begitu tertarik pada metode tafsir Alquran yang diajarkan gurunya itu di kuliah-kuliah di Universitas al-Azhar (Mesir).

Baca Juga

Rasyid Ridha selalu menghadiri rangkaian kuliah itu yang bermula sejak 1899. Catatan-catatan kuliahnya lantas ditunjukkannya kepada Muhammad Abduh untuk dikoreksi dan ditambahkan beberapa komentar.

Hasil dari koreksi dan penambahan ini kemudian disusun dan diterbitkan secara berseri pada majalah Al-Manar. Cara ini terus berlanjut sampai pada pembahasan soal ayat 125 surah An-Nisa.

Setelah ayat tersebut sampai akhir Alquran, Rasyid Ridha-lah yang menulis tafsirnya. Bagaimanapun, korespondensi dengan gurunya itu tetap berlangsung. Himpunan utuh tafsir Alquran itu kelak dinamakan kitab Al-Manar.

Meskipun Rasyid Ridha mengikuti metodenya Muhammad Abduh, ada pula perbedaan tafsiran di antara keduanya mengenai sejumlah ayat Alquran. Misalnya tentang ayat ke-25 dari surah al-Baqarah yang membahas balasan Allah atas orang-orang yang beriman.

Dalam perspektif Abduh, balasan itu lebih berupa aspek rohani. Sementara itu, bagi Rasyid Ridha, balasan yang sama lebih menekankan aspek jasmani.

Beberapa sumber menyebutkan, alasan perbedaan sejumlah hasil tafsiran ini lantaran Rasyid Ridha masih berpegang pada mazhab Salaf, khususnya Imam Hanbali. Dengan begitu, dia menolak takwil untuk ayat-ayat yang literal (mujassimah).

Adapun Abduh cenderung menggunakan pemikiran bebas sehingga tidak terikat dalam suatu mazhab. 

Pada 1912, Rasyid Ridha mendirikan lembaga pendidikan Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyad. Tujuan awalnya adalah untuk menandingi gelombang kristenisasi yang dilakukan para misionaris di tengah masyarakat Muslim.

Bagi Rasyid Ridha, membangun sekolah jauh lebih utama ketimbang membangun masjid. Penegasan ini mencerminkan sikap progresif Rasyid Ridha yang bersemangat dalam menghalau sikap jumud di tengah umat Islam.

Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (6)

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement